Buaya irian atau buaya nugini (Crocodylus novaeguineae) hanya akan dijumpai di Pulau Papua. Hewan ini lebih menyukai habitat air tawar, karena itu bisa ditemukan di sebagian besar sistem sungai air tawar, rawa, dan rawa-rawa di New Gueina yang luas.
Masyarakat di Papua masih ada yang menangkap buaya ini untuk dikonsumsi dagingnya, lalu kulitnya dijual karena bernilai ekonomi tinggi. Namun, bagi suku di kampung Dondai, kawasan Danau Sentani bagian barat, buaya ini merupakan totem atau binatang yang dianggap suci dan dihormati.
Lalu bagaimana awal mula masyarakat Papua menghormati buaya irian ini? Apa yang menyebabkan buaya ini kini menjadi hewan buruan dan mengancam populasinya? Berikut sejarahnya.
1. Buaya irian yang dihormati
Di Indonesia terdapat empat jenis buaya yang kita kenal. Salah satunya adalah Crocodylus Novaeguineae dengan wilayah sebaran di Pulau Papua. Buaya ini memiliki banyak nama lain, seperti New Guiena Crocodile, New Guinea Freshwater, buaya air tawar, buaya hitam, freswara pukpuk, blakpela pukpuk, dan wahne huala.
Dalam budaya masa lalu, masyarakat Sentani menggunakan buaya iran untuk beragam keperluan, seperti tengkoraknya untuk hiasan rumah. Motif buaya juga kerap diukir pada perahu dan tiang rumah adat mereka. Namun tidak semua orang boleh menggunakan motif buaya atau tiang rumah adatnya.
Di kawasan Danau Sentani bagian barat, motif buaya merupakan lambang totem bagi leluhur Ondoafi (kepala suku) Dondai. Totem sendiri merupakan benda atau binatang yang dianggap suci dan dipuja. Bagi keluarga yang memiliki totem buaya, mereka sangat pantang memakan binatang ini.
Tradisi ini bisa dilihat dari situs Yope yang dipercaya masyarakat Kampung Dondai pernah dijadikan perkampungan oleh nenek moyang mereka. Di sana ditemukan gerabah motif buaya dan bandul jala yang terbuat dari tanah liat yang dibakar.
“Temuan bandul jala membuktikan bahwa manusia penghuni Yope pada masa lampau beraktivitas menjala ikan. Lingkungan sekitar Yope juga dikenal sebagai daerah habitat buaya irian. Sehingga, gerabah motif buaya yang ditemukan dapat diasumsikan dibuat di Yope,” jelas Hari Suroto, peneliti senior Balai Arkeologi Papua yang disadur dari Mongabay Indonesia.
2. Dihormati namun diburu
Hari menyatakan perburuan buaya irian biasa dilakuan secara beramai-ramai pada siang hari di Danau Sentani. Para pemburu ini akan membakar semak belukar yang tumbuh di sekitar rawa hutan sagu, sehingga semua binatang yang bersembunyi akan masuk ke saluran air.
Para pemburu lantas meracuni saluran air dengan akar tuba, sehingga semua binatang akan bermunculan ke permukaan air. Setelahnya mereka akan menombaknya. Di Papua, salah satu suku yang dikenal memiliki tradisi berburu buaya adalah Suku Bauzi di Membramo Raya.
Suku ini menangkap buaya untuk dikonsumsi dagingnya, sementara kulitnya dijual. Bahkan kulit buaya ini kini bernilai ekonomis tinggi. Ada dua jenis buaya yang menjadi buruan di Papua, yakni buaya muara (Crocodylus prosus) dan buaya irian.
Menurut Hari, model penangkapan yang dilakukan ini sangat berisiko merusak lingkungan dan tidak jarang ketika membakar semak belukar, pohon-pohon yang ada di dekatnya ikut juga terbakar. Selain itu dengan meracuni saluran air, maka ikan-ikan kecil juga ikut mati.
Karena itulah, keberadaan spesies ini di Danau Sentani mulai sulit dijumpai. Bersembunyi di bagian-bagian danau yang jauh dari permukiman, atau jauh dari aktivitas manusia.
Hari juga melihat kondisi habitat yang mulai rusak karena alih fungsi lahan hutan sagu menjadi perumahan atau terkena pelebaran jalan raya menuju Bandara Sentani.
3. Mencegah perburuan berlanjut
Jack H. Cox yang melakukan survei status dan rencana aksi konservasi Crocodylus novaeguineae yang dirilis IUCN menjelaskan ukuran maksimum buaya irian dewasa yang terdokumentasi adalah sekitar 3 meter untuk betina dan 3,5 meter untuk jantan.
Tetapi ukuran yang lebih besar dan kulit yang sesuai secara teratur dilaporkan ditemukan pada wilayah Sungai Sepik di negara Papua Nugini. Jack juga ikut menyorot perburuan terhadap spesies buaya ini. Bahkan perburuan ini sudah terjadi sejak Perang Dunia Kedua dan mencapai puncaknya pada 1960-an.
Sejak tahun 1988 hingga 1992, proyek yang didanai Food And Agriculture Organization (FAO) melakukan survei dasar dan pengembangan sistem pengumpulan telur dan anakan buaya ini untuk penangkaran. Pada periode yang sama, telah ada penegakan aturan untuk menangani perburuan ilegal.
Tahun 1991, pengelolaan buaya di Indonesia mulai didesain ulang lebih rinci sebagai tanggapan atas keprihatinan Konvensi Perdagangan Internasional Spesies Tumbuhan dan Satwa Liar Terancam. Selama periode 1994 hingga 1998, Indonesia memberlakukan moratorium ekspor semua produk buaya, kecuali kepemilikan pribadi.
Buaya irian juga merupakan jenis satwa liar yang dilindungi berdasarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya Junto Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa.