Di balik keindahan alamnya, Danau Ranau di Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan, Sumatra Selatan menyimpan kearifan lokal yang berharga. Masyarakat di sana melestarikan lingkungan sejak berabad-abad silam, jauh sebelum heboh isu global warming.
Kesadaran menjaga alam itu merupakan kearifan yang tumbuh dari generasi ke generasi seiring pengalaman mereka belajar dari alam. Dengan pikiran bersahaja, mereka pegang hukum alam, jika lingkungan terjaga, lingkungan hidup manusia bakal terjamin.
Lalu bagaimana keindahan alam Danau Ranau dijaga oleh alam? Dan mengapa kesadaran ini tumbuh? Berikut uraiannya:
1. Danau Ranau bagi masyarakat

Danau Ranau merupakan sumber hidup sekaligus pranata sosial. Selama ratusan tahun, air dari sekitar 50 sumber mata air dan hutan-hutan di sekeliling Danau Rabau, Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan, Sumatra Selatan, telah menghidupi warga dari generasi ke generasi.
Bagi masyarakat Danau Ranau bukan lagi danau yang ada di seberang sana, tetapi darah daging pranata sosial warga setempat. Sampai sekarang air tetap melimpah yang dimanfaatkan sebagai sumber irigasi bagi 40.000 hektare lahan padi yang terhampar di sepanjang aliran Sungai Komering.
Di bali keindahan alamnya, Danau Ranau menyimpan kearifan lokal yang berharga. Masyarakat di sana melestarikan lingkungan sejak berabad-abad silam, jauh sebelum heboh isu global warming atau kampanye hijau.
“Danau Ranau ini warisan nenek moyang. Kami terus menjaganya buat anak cucu kami,” papar Hamidi Dahlan, Kepala Desa Surabaya, Kecamatan Banding Agung yang dimuat dalam Kisah Penjaga Danau di Indonesia terbitan Kompas.
Tekad lelaki itu bisa mewakili semangat umum suku Ranau, suku tradisional yang tinggal di sekitar danau sejak sekitar abad 15. Mereka berdiam di rumah-rumah panggung kayu di tiga kawasan, Kecamatan Banding Agung, Pematang Ribu, dan Warku.
Suku Ranau ini dikenal sangat ketat menjaga kelestarian alam. Hasil jerih payah masyarakat Ranau secara turun-temurun bisa dilihat dan dinikmati generasi sekarang. Keasrian alam Danau Ranau saat ini merupakan salah satu objek pariwisata unggulan di Sumsel dan Lampung.
2. Contoh harmoni alam

Masyarakat di sekitar Danau Ranau adalah contoh tentang harmoni antara alam dan manusia. Sikap hidup memperlakukan alam dengan bijak terlihat dari kearifan dalam memanfaatkan air danau untuk pertanian dan perikanan.
Karena itu, sistem irigasi lokal yang dibuat ratusan tahun silam oleh nenek moyang mereka mampu bertahan. Menurut Bakri Nirwan (56), petani sekaligus tokoh masyarakat Desa Banding Agung, semasa ia masih kecil atau tahun 1960-an, petani Danau Ranau bergotong royong membangun saluran irigasi.
“Setelah sempat bertahan selama sejak tahun 1990, dinding parit tanah liat ini rusak. Meski sudah diganti dengan beton, aliran air ini masih tetap peninggalan nenek moyang kami,” katanya.
Selain itu, masyarakat Danau Ranau juga mengenal tempat keramat yang diyakini sebagai makam leluhur atau tokoh legenda. Belakangan adat itu diperkuat peraturan desa. Desa Surabaya dan Desa Rantau Nipis misalnya mengatur penebang pohon di kebun milik sendiri sudah minta izin.
Kesadaran menjaga alam itu merupakan kearifan yang tumbuh dari generasi ke generasi seiring pengalaman mereka belajar dari alam. Dengan pikiran bersahaja, mereka pegang hukum alam, jika lingkungan terjaga, kelangsungan hidup manusia bakal terjamin.
Hutan di gunung dan perbukitan di sekitar danau menjadi areal tangkapan air. Itu yang membuat danau tersebut tak pernah mengering meski kemarau panjang datang. Air dari sumber alam ini bisa memenuhi kebutuhan warga, terutama para petani.
Petani menggunakana air danau untuk memenuhi kebutuhan tanaman mereka di persawahan. Air itu dialirkan lewat jaringan irigasi. Pasokan air membuat petani bisa panen tiga kali setahun sehingga memberikan berkah tersendiri.
“Danau ini bawa berkah bagi kami semua,” kata Teguh Zoiri, tokoh masyarakat di Banding Agung.
3. Tantangan

Komitmen suku Ranau untuk melestarikan lingkungan danau berakar kuat sampai sekarang dan komitmen itu tumbuh secara alami. Kearifan masyarakat Ranau bisa jadi inspirasi bagi kita semua, terutama saat kondisi alam di sekitar kita semakin rusak.
“Tekad suku Ranau tentunya masih terus diuji oleh waktu. Seringi perubahan waktu, kian banyak orang yang nekat mengejar kepentingan pendek tanpa peduli terhadap kerusakan lingkungan.”
Sebagian hutan lindung di Bukit Barisan di sekitar danau itu, misalnya, mulai ada yang merambah. Kayu-kayunya ditebang. Wilayah yang bolong kemudian digarap menjadi kebun, terutama kopi. Meski kecil-kecilan, pemandangan itu terpampang jelas di dekat jalan lingkar danau.
Sebagian bukit di tepian danau juga dipapras untuk diambil batu-batunya. Penambangan kecil seperti itu bisa menjalar jadi besar dan akhirnya merusak seluruh lingkungan danau. Sejumlah tokoh masyarakat setempat mengaku telah melarang penambangan itu.
Namun kegiatan tersebut masih saja berjalan karena sebagian bukit itu memang milik pribadi beberapa orang. Begitulah, rupanya adat dan peraturan desa tak cukup mempan untuk menahan keserakahan manusian.
“Sebaiknya pemerintah ikut turun tangan,” kata Hamidi Dahlan.