Miris, hampir 70 persen populasi satwa di bumi musnah dalam 50 tahun terakhir

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp
Ilustrasi satwa gajah (lee woods/Flickr)

Bicara mengenai kondisi kepunahan dan berkurangnya populasi hewan atau satwa di muka bumi tidak akan pernah ada habisnya. Buktinya saja, dikatakan jika sejak 50 tahun terakhir, setidaknya sudah ada hampir 70 persen populasi satwa yang musnah atau mati.

Bahkan mengutip Earth.org, disebutkan bahwa dala kurun waktu lebih lama yakni 500 tahun terakhir, kehidupan manusia telah menyebabkan kepunahan terhadap sebanyak 800 spesies hewan di dunia.

Fakta tersebut didukung dengan semakin meningkatnya jumlah spesies berstatus langka secara global saat ini. Per tahun 2019 misalnya, IUCN mencatat jika pada tahun 2021, setidaknya ada sebanyak 16.479 spesies hewan yang terancam punah.

Tragisnya, jumlah tersebut meningkat 6,99 persen dibandingkan pada tahun sebelumnya (2020), berada di angka 15.403 spesies.

1. Kemusnahan sejak tahun 1970

Ilustrasi kepunahan ikan (Erez/flickr)

Penemuan mengenai angka kepunahan populasi ini diperoleh berdasarkan penelitian yang dilakukan World Wildlife Fund terhadap lebih dari 5.200 spesies hewan/satwa. Dari penelitian tersebut, terungkap bahwa dari hampir 32.000 populasi yang dianalisis, ada penurunan rata-rata 69 persen sejak 1970.

  Mengapa burung dodo bisa punah dari muka bumi?

Penurunan paling drastis disebutkan terjadi hanya dalam kurun waktu dua tahun, sejak tahun 2018-2020. Detailnya, pada tahun 2018, penurunan populasi yang terjadi tercatat berada di angka 60 persen. Namun kemudian, angka tersebut kembali meningkat menjadi 68 persen di tahun 2020.

Situasi tersebutlah yang akhirnya membuat para peneliti di bidang terkait menyebutnya dengan istilah ‘SOS for Nature’.

Mengutip The Guardian, kemusnahan populasi ini terjadi secara merata baik di ekosistem laut hingga hutan hujan tropis. Jumlah populasi burung, ikan, amfibi, dan reptil tercatat terjun bebas dan menurun lebih dari dua pertiga populasi antara tahun 1970-2018.

2. Penurunan populasi satwa di sejumlah wilayah

Paus terdampar dan mati di Australia (GLENN NICHOLLS/AFP via businessinsider.mx)

Masih mengutip sumber yang sama, laporan penurunan populasi satwa yang signifikan juga dilaporkan sejumlah wilayah.

Paling parah terjadi di Amerika Latin dan kawasan Karibia. Di wilayah tersebut, penurunan popluasi satwanya dilaporkan mencapai persentase 94 persen. Dan penurunan tersebut terjdi hanya dalam kurun waktu 48 tahun.

Hal tersebut jelas menjadi tamparan keras, pasalnya di sanalah tempat adanya hutan hujan terbesar dunia yang menjadi rumah jutaan satwa, yakni Amazon. Seperti itu anggapan yang disampaikan oleh Tanya Steele, selaku kepala eksekutif di WWF-UK.

  India akhirnya memiliki cheetah kembali setelah punah 70 tahun silam

“Penurunan terburuk terjadi di wilayah Amerika Latin, rumah bagi hutan hujan terbesar di dunia, Amazon. Tingkat deforestasi di sana semakin cepat, melucuti ekosistem unik ini bukan hanya dari pepohonan tetapi juga satwa liar yang bergantung padanya dan kemampuan Amazon untuk bertindak sebagai salah satu sekutu terbesar kita dalam memerangi perubahan iklim.” Jabar Steele.

Setelah Amerika Latin, adapun kawasan selanjutnya dengan angka pengurangan populasi cukup tinggi adalah Afrika, dengan angka 66 persen. Lain itu ada juga Asia Pasifik yang mengalami penurunan populasi satwa sebesar 55 persen, Amerika Utara 20 persen, serta Eropa dan Asia Tengah sebesar 18 persen.

3. Masa kepunahan massal akibat manusia

Gajah sumatra yang mati (Dok. Rimba Satwa Foundation)

Bisa diduga, penyebab dari terjadinya fenomena kemusnahan massal ini terjadi karena aktivitas kehidupan manusia. Beberapa aktivitas yang dimaksud di antaranya pembukaan lahan hutan, dan pencemaran lingkungan dalam skala industri.

Saking ekstremnya, bahkan banyak ilmuwan yang beranggapan bahwa saat ini kita hidup di zaman kepunahan massal keenam. Di mana penomoran tersebut merujuk pada fenomena kehilangan kehidupan mahkluk hidup terbesar di Bumi sejak zaman dinosaurus. Tragisnya, hal tersebut didorong oleh ulah manusia.

  Mengintip pesona eksotis hutan tropis Pulau Nusakambangan

Kini di tahun 2022, istilah yang digunakan oleh para ilmuwan bukan lagi sekadar ‘SOS for Nature’, melainkan ‘Code red for the planet’. Hal tersebut lantaran kepunahan massal yang terjadi bukan hanya menimpa satwa, melainkan juga makluk hidup lain seperti tumbuhan bahkan manusia.

Dan penyebabnya diperparah dengan satu kondisi tambahan, yakni perubahan atau krisis iklim.

Artikel Terkait

Terbaru

Humanis

Lingkungan

Berdaya

Jelajah

Naradata