Satwa liar jenis trenggiling diserahkan oleh masyarakat kepada Petugas Polhut Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC) Kabupaten Kuningan, Jawa Barat (Jabar). Satwa liar ini merupakan temuan warga dari hasil perburuan orang tak dikenal di kawasan Lambosir, Gunung Ciremai.
Trenggiling ini mendapat label kritis (critically endangered) atau sangat terancam punah dari IUCN karena populasinya yang terus mengalami penurunan, hingga mencapai 80 persen dalam 21 tahun terakhir. Kondisi ini karena meningkatnya perdagangan internasional ilegal trenggiling dalam beberapa tahun terakhir.
Lalu bagaimana proses pengamanan trenggiling dari pencurian? Dan apa juga yang menyebabkan populasi satwa liar ini terus menurun? Berikut uraiannya:
1. Trenggiling yang diselamatkan

Pengamanan trenggiling ini berawal ketika warga tengah membetulkan jaringan paralon air di kawasan TNGC. Kemudian warga tersebut memergoki dua orang yang tidak dikenal tengah membawa bungkusan. Saat itulah pria bernama Djafar ini menaruh curiga bahwa yang terdapat dalam bungkusan tersebut adalah hewan.
Laki-laki yang juga anggota Masyarakat Peduli Api (MPA) kawasan Gunung Ciremai ini kemudian mengajak komunikasi kedua orang yang tidak dikenal itu. Tetapi mereka mengelak dan menolak untuk memberi tahu isi dalam karung tersebut.
“Awalnya orang itu bilang ini tunggak pakis untuk pot bunga. Tetapi pas dilihat, ini trenggiling. Saya katakan bahwa hewan ini dilindungi dan kamu bisa ditahan jika memaksa ingin memiliki hewan ini,” ujar Djafar yang disadur dari Tribunews, Senin (14/3/2022).
Pria yang berprofesi sebagai petani ini lantas menghubungi pihak Polhut TNGC Kuningan. Sebelumnya, Djafar sempat membawa trenggiling ke rumahnya, setelahnya baru dibawa ke BTNGC Kuningan. Pihak Polhut TNGC pun memberikan apresiasi kepada Djafar.
“Kami apresiasi atas bantuan mitra kita Pak Djafar yang telah bekerjasama dengan pihak TNGC, yakni menyerahkan satwa jenis trenggiling,” ucap Kepala Satgas Polhut TNGC Kuningan, Oman DP dalam keterangan persnya.
Diketahui trenggiling tersebut berjenis kelamin betina dengan bobot 6 kilogram dan diperkirakan umurnya dua tahun. Djafar sendiri mengaku tidak berani untuk melepaskan satwa liar ini sendiri, sehingga menghubungi pihak polhut.
Sementara itu pihak Polhut TNGC Kuningan sedang menghubungi pihak BBKSDA Jabar untuk dilakukan pemeriksaan dan penyerahan terkait adanya penyerahan trenggiling dari masyarakat. Sedangkan untuk pelepasliaraan di wilayah TN Gunung Ciremai, mereka juga menunggu instruksi dari pihak BBKSDA.
2. Perburuan trenggiling

Trenggiling tersebar di wilayah Asia Tenggara, antara lain Myanmar, Kamboja, Vietnam, Thailand, Malaysia, dan Indonesia. Trenggiling kerap dijual secara ilegal karena sisiknya dianggap mujarab dan sering dijadikan obat tradisional bagi masyarakat China.
Konon sisik tersebut bisa menyembuhkan radang sendi, meningkatkan produksi ASI, dan menjadi obat kuat untuk laki-laki. Sisik trenggiling menjadi bagian dari budaya masyarakat Tiongkok dan digunakan dalam lebih dari 60 produk obat herbal.
Dinukil dari VOA Indonesia, Indonesia masuk dalam 10 negara teratas yang terlibat dalam perdagangan trenggiling. Karena itu, Indonesia kehilangan hingga 10 ribu ekor trenggiling setiap tahunnya, termasuk trenggiling sunda yang terancam punah.
Pertengahan Agustus 2020, tim Penegakan Hukum KLHK wilayah Sumatra menangkap S (33) yang kedapatan membawa 24,5 kg sisik trenggiling. Pelaku ditangkap di Jalan Lintas Sumatra, Desa Bukit Tigo, Singkut, Sarolangun, Jambi. Dia telah sepakat menjual Rp3,7 juta per kg.
Pada tahun 2021, pemerintah China kemudian mencoret trenggiling dari daftar resmi obat tradisional mereka setelah merebaknya wabah virus corona. China melarang konsumsi hewan liar hidup untuk makanan, tetapi ada pengecualian tertentu, seperti untuk obat-obatan atau bulu.
3. Masyarakat lokal benteng paling kuat

Ketua Profauna Indonesia, Rosek Nursahid mengatakan perburuan liar jadi musuh utama populasi trenggiling di alam. Dia memastikan, trenggiling yang diperdagangkan di pasar gelap merupakan hasil tangkapan alam. Sedangkan penurunan populasinya memang disebabkan karena perburuan.
Bedasarkan temuan tim Wildlife Crime Team (WCT) hingga 2018 menyebut daerah Bengkalis, Riau merupakan wilayah dengan kerawanan tinggi di Sumatra. Diduga sebagai tempat menyelundupkan trenggiling ke Malaysia dan Singapura. Bahkan, broker dan pedagang di Sumatra Barat (Sumbar) dan Jambi memanfaatkan jalur ini.
Selama 10 tahun terakhir telah ada upaya penegakan hukum yang jauh lebih baik terhadap kasus kejahatan satwa. Namun tetap saja masih ada pekerjaan rumah yang perlu diselesaikan. Seperti ketika masuk persidangan hakim bahwa kejahatan perdagangan satwa langka merupakan kejahatan serius.
Karena itu, pelibatan masyarakat lokal secara aktif untuk menjaga lokasi-lokasi perburuan satwa sangat penting. Kasus perburuan, akan selalu berjalan seiring dengan adanya perdagangan satwa. Karena itu kesadaran dari masyarakat lokal sangat penting bagi perlindungan satwa langka ini.
“Masyarakat lokal adalah benteng paling kuat untuk melindungi kekayaan sumber daya alam mereka,” kata Rosek yang dilansir dari Mongabay Indonesia.