Hutan Klasow yang berada di Kampung Malagufuk, Distrik Makbon, Sorong, Papua Barat, masih begitu rimbun. Hal ini karena peran Orang Moi yang hidup di dalam hutan tersebut yang secara arif mengelola, memanfaatkan dengan tetap menjaga agar tetap lestari.
Marga Moi di lima kampung di Sorong, bersama-sama memetakan batas kampung mereka, hal ini juga menginventarisasi potensi dan merencanakan pengelolaan wilayah adat. Orang Moi juga punya tradisi adat untuk mengajarkan pelestarian hutan kepada generasi penerus.
Lalu bagaimana Orang Moi mampu menjaga hutan? Dan apa pendidikan yang diberikan agar hutan masih tetap lestari? Berikut uraiannya:
1. Hutan rimbun Klasow

Pohon-pohon rimbun terlihat di kanan kiri Jalan Trans Papua Barat yang membelah hutan Klasow, di Kampung Malagufuk, Distrik Makbon, Sorong, Papua Barat. Sesekali bila ada mobil yang ingin lewat harus melewati jalan di atas tebing hingga tersuguh hamparan indah laut di sebelah barat ujung Papua.
Dikutip dari Mongabay Indonesia, Jumat (1/7/2022) Suku Moi yang hidup bergantung dengan hutan ini telah memutuskan mengembangkan ekowisata di Malagufuk. Di Klasow, hutan alam memang masih terjaga. Dari tepi jalan, sudah terlihat hamparan pepohonan setinggi sekitar 40 meter berdiri tegak.
“Kampung Malagufuk jadi contoh bagaimana ekowisata mampu memberi kesejahteraan warga sekaligus hutan tetap lestari. Sehari-hari mereka tinggal di dalam hutan, dan mengambil manfaat langsung dari hutan,” kata Debi Wiranti, Communication Associate Yayasan EcoNusa.
2. Gerakan pemuda jaga hutan

Ketua Pemuda Generasi Malaumkarta (PGM), Torainus Kalami mengatakan kondisi hutan masih tetap terjaga baik. Hutan tidak ditebang, jelasnya, hal ini bila dilihat dari beberapa hutan lain yang sudah terjadi penurunan karena diambil kayu hutan, tetapi di Malagufuk justru tidak.
Tori yang berasal dari Suku Moi telah merintis gerakan pemuda menjaga hutan dan memperjuangkan hak atas tanah adat. Inisiatif itu disambut baik oleh warga dari kampung lain seperti Suatut, Sutolo, Wenbulu, dan Malagufuk.
Bahkan pada 2017, ada Peraturan Daerah Nomor 10 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat Moi Sorong. Dalam perda itu, Suku Moi disebut orang asli Papua di Sorong. Suku Moi terbagi menjadi delapan sub suku, yakni Kelim, Sigin, Abun Taat, Abun Jii, Klabra, Salkhma, Lemas, dan Maya.
“Mereka melakukan pertemuan besar setiap lima tahun dalam forum bernama Sabalo,” tulis Nuswantoro dalam Cerita Orang Moi Menjaga Hutan Klasow.
Di lima kampung ini, marga Moi bersama-sama memetakan batas kampung, sekaligus menginventarisasi potensi dan merencanakan pengelolaan wilayah adat. Salah satu hasil penting adalah pengakuan tanah adat/ulayat. Wilayah adat pun diatur sebagai lahan komunal atau bersama, tak boleh diubah status penguasaan dan pemanfaatannya.
Tanah ulayat merupakan seluruh sumber daya alam dan sumber daya budaya. Di dalamnya terdapat tumbuhan, satwa liar, sungai, dan mata air, Di dalam wilayah adat/ulayat bisa terkandung tanah adat, hutan adat, kawasan pesisir, dan pulau adat.
“Kami sudah selesaikan peta adat, dengan potensinya. Itu penting karena itu legal standing bahwa kami ada di situ. Di dalam peta potensi itu ada hutan, ada gua, terumbu karang, dan situs-situs bersejarah. Itu jadi satu kesatuan. Kami mendorong hutan adat itu disahkan Bupati Sorong sampai KLHK,” ucap Tora.
3. Tradisi adat

Tori berpendapat kesadaran masyarakat menjaga kelestarian hutan sudah bagus. Di tempat ini memang ada tradisi seperti kambik yang merupakan proses pendidikan nilai-nilai adat Suku Moi bagi generasi penerus. Leluhur mereka mengajarkan hutan adalah ibu kandung atau Tam Sinih yang memberi perlindungan dan penghidupan.
“Kalau pohon di hutan ditebangi, maka siklus kehidupan bakal terenggut,” ujarnya.
Dirinya mencontohkan seperti burung yang makan buah-buahan di pohon. Ada juga hewan makan buah jatuh, ada kangguru tanah, babi hutan, dan rusa. Mereka makan dari pohon-pohon itu. Jadi kalau semua pohon ditebang, mereka akan sulit hidup.
Tahun lalu, PGM mendorong tradisi egek, yaitu larangan memanfaatkan sumber daya alam di suatu kawasan dalam kurun waktu tertentu. Keputusan itu mendapat dukungan dari berbagai marga. Kepala Kampung Malaumkarta, Amos Kalami mengatakan selain secara adat, egek juga mendapat dukungan dari gereja.
“Hampir semua jenis satwa dan tumbuhan kami lindungi. Yang bisa kami buru hanya babi dan rusa. Yang lain tidak. Termasuk ular. Selama hewan itu tidak menyiksa manusia ya sudah tenang saja. Ikan-ikan di kali juga demikian. Kami makan ikan gabus, tapi dipancing. Kalau jaring kami larang. Jerat kami larang,” kata Amos.