Suku Lom merupakan salah satu suku tertua yang mendiami Pulau Bangka. Lom dimaknai sebagai kelompok masyarakat yang belum mengenal agama (agama yang diakui negara). Namun berjalannya waktu, mayoritas Suku Lom mulai memeluk agama yang diakui negara.
Suku ini sangat mempercayai alam. Karena itu mereka terus melestarikan alam, seperti hutan, laut, bahkan menolak pertambangan. Mereka juga menjaga salah satu situs sejarah yang terdapat di Pulau Bangka. Namun keberadaannya mereka terancam karena perkebunan sawit hingga pertambangan.
Lalu bagaimana kisah Suku Lom? Dan mengapa mereka terus menjaga alam mereka? Berikut uraiannya:
1. Kisah Suku Lom

Suku Lom merupakan salah satu suku tertua yang mendiami Pulau Bangka, mereka tersebar di Desa Mapur, Air Rabik, Dusun Pejem dan Dusun Tuing, Riau Silip dan Kecamatan Belinyu atau di antara Gunung Muda dan Gunung Pelawan. Mereka hidup di dataran tinggi hingga pesisir.
Dusun Tuing, dahulunya disebut Tu Wing, merupakan dusun yang berada di pesisir Tanjung Tuing yang menghadap Laut Natuna. Pembatas dusun dengan laut adalah sebuah bukit dengan ketinggian sekitar 300-an meter, dinamakan Bukit Tuing.
Dusun ini dipercaya sebagai titik awal kedatangan leluhur Suku Lom sekian abad lalu ke Pulau Bangka. Banyak versi mengenal asal Suku Lom, berdasarkan cerita yang dituturkan kepada keturunannya. Ada yang menyebut dari Kerajaan Funan (Vietnam), pelarian dari Mojokerto, atau pelarian dari Sriwijaya.
Selain itu, Suku Lom dipercaya keturunan dari Akek Antak (Kakek Antak), legenda di Pulau Bangka. Dia dipahami sebagai manusia sakti yang hidup pada abad 10. Jejak keberadaannya ada di sejumlah artefak batu granit, baik berupa telapak kaki, topi, dan lainnya.
“Masyarakat adat Suku Lom meyakini gunung, hutan, sungai, bumi, langit dan hewan yang merupakan bagian dari alam semesta, menyatu dengan roh nenek moyang mereka sehingga harus dihargai,” jelas Rahmadi R dalam Perairan Tuing yang Dijaga Suku Lom, Kini Terancam Tambang Timah yang dimuat Mongabay Indonesia.
2. Menjaga alam

Masyarakat Suku Lom memang percaya jika setiap bagian dari alam semesta ini mempunyai roh atau kekuatan yang mengawasi manusia dan perbuatannya. Bencana akan menimpa apabila manusia melanggar kekuasaan dan keselarasan alam.
Karena itulah mereka sangat melestarikan alam, seperti kawasan hutan dan laut yang rusak. Sebab hutan dan laut yang lestari merupakan nafas kehidupan mereka, salah satunya akan kehilangan obat-obatan alami. Masyarakat Lom masih sangat menghormati pohon, sungai, laut, dan tanah.
Suku Lom sangat mensakralkan hutan. Hutan merupakan lingkungan alam yang patut dilindungi, sehingga dianggap hutan adat dan hutan terlarang. di dalamnya menyimpan banyak sumber daya alam seperti kayu, tumbuhan obat dan aneka satwa langka.
Selain lingkungan, Suku Lom juga menjaga peninggalan sejarah yaitu berupa situs Akek Antak yang berlokasi berada di pesisir antara Dusun Tuing dengan Dusun Pejem. Bentuknya berupa batu gendeng, batu sabak, batu pare, dan telapak kaki Akek Antak.
Akek Antak merupakan legenda terkenal di Pulau Bangka, kebenaran sosoknya dipercaya oleh Suku Lom. Sukardi tokoh masyarakat Dusun Tuing menyebut situs ini sangat erat hubungannya dengan kehidupan sehari-hari masyarakat Suku Lom.
“Sehingga masyarakat tidak berani merusak batuan di sana apalagi mengambilnya,” katanya.
3. Mulai terancam

Iskandar Zulkarnain, Sosiolog dari Universitas Bangka Belitung menyebut ruang hidup masyarakat Suku Lom seperti hutan dan laut, secara perlahan, sebagai dampak kegiatan ekstraktif seperti perkebunan sawit skala besar dan pertambangan timah.
Padahal Iskandar menyebut Suku Lom seharusnya dipahami sebagai jejak peradaban luhur masyarakat Bangka, yang arif dengan alam, bukan dipahami sebagai masyarakat tertinggal atau terbelakang. Sebab, banyak pengetahuan mereka dengan alam yang jauh melampaui pengetahuan yang mungkin dapat menghadapi perubahan iklim global.
“Pemerintah harus menyelamatkan Suku Lom. Sebab masyarakat adat ini yang masih menjaga nilai-nilai luhur masyarakat di Pulau Bangka dan Belitung, yang hidup harmonis dengan alam, kata Iskandar.
Sejak masa Kesultanan Palembang, kolonial Belanda dan Inggris, serta Indonesia, Dusun Tung bebas dari penambangan timah. Bukan hanya ada di daratan tetapi juga di laut. Saat booming timah di era 2000 an, mereka memutuskan tetap melaut dan berkebun.
“Hidup kami sudah damai dan bahagia. Kami tidak kelaparan, bisa menyekolahkan anak dari hasil laut dan kebun. Jadi buat apa merusak alam dengan menambang timah,” kata Sukardi, salah satu masyarakat Suku Lom.