Cara leluhur Sunda merawat dan menjaga aliran sungai

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp
Sungai Citarum ( Cita-Citarum/Flickr)
Sungai Citarum ( Cita-Citarum/Flickr)

Sebelum lahir konsep modern pengelolaan terpadu daerah aliran sungai, yakni one river, one plan, one management di dunia. Sekitar abad ke 13, leluhur Sunda sudah menyusun ilmu Patanjala.

Patanjala merupakan kearifan lokal Sunda untuk menjaga dan melestarikan daerah aliran sungai. Dalam tradisi Sunda, situs leluhur dianggap sebagai kabuyutan yang harus dijaga, dipelihara dan dilestarikan.

Lalu bagaimana tradisi Patanjala ini lahir? Dan mengapa ilmu ini perlu dirawat untuk melestarikan alam? Berikut uraiannya:

1. Konsep patanjala

Sungai Ciliwung (Ali Zaenal/Flickr)
Sungai Ciliwung (Ali Zaenal/Flickr)

Patanjala merupakan kearifan lokal Sunda untuk menjaga dan melestarikan daerah aliran sungai. Patan artinya air dan jala adalah sungai atau wilayah yang harus dijaga karena merupakan kabuyutan (situs leluhur).

Narasi Patanjala tercantum dalam Naskah Amanat Galunggung atau disebut juga Kropak 632. Naskah ini ditulis pada abad ke 13 atau 15 pada daun lontar dan nipah, menggunakan bahasa dan aksara Sunda kuno.

Naskah ini berisi nasihat mengenai etika dan budi pekerti bagi masyarakat Sunda. yang disampaikan Rakyan Darmasiksa, Raja Sunda ke-25, Penguasa Galunggung, kepada putranya Ragasuci.

Kita tiru wujud patanjala: pata berarti air, jala berarti sungai. Tidak akan sia-sia amal baik kita, bila meniru sungai itu,”

Dalam kosmologi Sunda (masyarakat Kanekes), disebut Gunung Pangauban. Gunung sebagai kesatuan komunal (kanagaraan-kabalareaan-kabersamaan), dan Pangauban sebagai batas teritorial atau wilayah berdasarkan sungai atau air.

  Serupa tapi tak sama, mengenal perbedaan antara kambing dan domba

Patanjala terkait dengan pengaturan kawasan yang disebut leuweung larangan (hutan lindung). Hutan ini tidak hanya terdapat di hulu sungai. Tetapi terdapat juga di tengah dan di hilir sungai.

Melalui kearifan lokalnya, orang Sunda juga sudah menetapkan kawasan hutan alam, yakni leuweung larangan, leuweung tutupan, dan lahan baladahan. Hanya kawasan baladahan yang boleh digarap lahannya.

“Hanya kawasan baladahan yang boleh dijadikan lahan budidaya pertanian karena letaknya paling bawah, topografinya relatif datar, dan lahannya paling luas,” tulis Dedi Muhtadi dalam Tanah Air: Melestarikan Patanjala di Jatigede.

2. Konsep pengelolaan air

Tokoh Sunda dari Majelis Cendekiawan Keraton Nusantara, Darma S Natarapraja menyatakan Patanjala merupakan konsep pengelolaan air mengingat air merupakan sumber kehidupan bagi masyarakat di Tatar Sunda.

Karena itu, penghormatan leluhur Sunda terhadap air sangat tinggi. Hal itu diwujudkan dengan memberi nama-nama tempat dengan sebutan awal ci (air), misalnya Cianjur, Ciamis, Cirebon, Cibadak, atau Cicurug.

Dahulu, jelas Darma, air dari hulu Sungai Cimanuk hingga ke hilir di Indramayu sangat bersih. Airnya mengalir ke sawah-sawah menghidupkan tanaman padi untuk pangan. Tetapi sekarang sungai menjadi tempat pembuangan sampah, botol plastik, dan air limbah.

  Air tertua di dunia berusia 2 miliar tahun ditemukan, bisa jelaskan awal mula dunia!

“Kini tidak ada lagi penghormatan terhadap air. Jutaan orang membuang sampah ke sungai sehingga air menjadi kotor dan beracun,” ujar Darma.

Karena itu beberapa upaya dilakukan agar mengembalikan konsep penghormatan tersebut, salah satunya adalah gelar budaya patanjala. Hal ini merupakan pendidikan terhadap semua pihak agar kembali menghormati air.

“Apa yang harus dilakukan sekarang adalah mengelola air yang ada di hadapan kita. Air Cimanuk merupakan anugerah yang tak ternilai bagi kehidupan masyarakat,” ucapnya.

3. Gelar budaya

Sungai Citarum ( Cita-Citarum/Flickr)
Sungai Citarum ( Cita-Citarum/Flickr)

Alunan alat musik tradisional Sunda, Karinding mengusik hati saat mengiringi rajah (nyanyian doa) di Bukit Tanjung, Desa Pakualam, Kecamatan Darmaraja, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat.

Gelar budaya para sukarelawan lingkungan dari aluetan (komunitas) pengauban (perlindungan) Sungai Cimanuk Hulu, Cimanuk Tengah, dan Cimanuk Hilir ini merupakan rajah tradisi menelusuri peradaban Cimanuk yang alirannya kini menjadi Waduk Jatigede.

Melalui patanjala sebagai konsep pengelolaan alam dan sosial, pergerakan budaya itu dimaksudkan untuk memperingati tiga tahun tergenangnya Waduk Jatigede. Di waduk tersebut tergenang lahan dan perkampungan di 32 desa sejak Agustus 2015.

Waduk ini bisa mengairi sawah seluas 90.000 hektare di Kabupaten Cirebon, Indramayu, dan Majalengka yang selama ini tergolong sawah tadah hujan. Lebih dari 1,1 juta petani bisa memperoleh manfaat dari keberadaan waduk ini.

  5 sungai yang semakin mengering akibat perubahan iklim dan penggunaan berlebihan

Atraksi budaya itu juga untuk mengingatkan para penentu kebijakan tentang penyelesaian masalah sosial bagi 11.469 keluarga warga Jatigede yang harus meninggalkan tanah leluhur dan selama ini mensejahterakan.

Selain itu sukarelawan lingkungan mengarsipkan berbagai peristiwa serta ketinggian air Jatigede dari masa ke masa. Arsip berupa foto dan dokumen berjumlah cukup banyak. Di sana ada 24 situs berupa dongeng pada sejarah Cimanuk Marigi Deui.

Kalau dilihat secara sederhana, sebaran situs seperti bentuk senjata tradisional Sunda, yakni kujang. Situs yang dibuat oleh karuhun adalah suatu sistem tata wilayah dan juga tata air di daerah Sunda.

“Situs-situs itu memuat pesan leluhur, silakan dibendung, tetapi rakyat harus disejahterakan. Ada juga pesan bahwa situs dan hutan tidak boleh diganggu,” tegas Rachmat Leuweung (40) dari Komunitas Cimanuk Hulu.

Karena itulah gerakan alami budaya Jatigede yang dilakukan seuweu siwi (anak cucu) Cimanuk harus terus mengalir seperti air telaga. Patanjala dijadikan wadah kegiatan yang positif agar tanah air bisa diwariskan kepada anak cucu.

Artikel Terkait