Memahami polusi suara serta dampaknya bagi kesehatan dan lingkungan

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp
Ilustrasi gangguan suara yang terlalu keras (thesohnzone/Flickr)

Bicara mengani polusi, sebagian besar orang selama ini baru mengenal jenis polusi yang umum seperti udara, air, atau tanah. Padahal, sebenarnya masih ada satu jenis polusi dengan ancaman serius yang tak kalah memberikan dampak negatif bagi lingkungan bahkan kesehatan, yakni polusi suara.

Tidak hanya di darat atau udara, polusi suara nyatanya juga dapat terjadi di lautan dan memberi dampak bagi makhluk hidup di dalamnya. Sejumlah ahli menyebut jika polusi suara adalah bahaya yang tak terlihat.

Sementara itu mengutip National Geographic, polusi suara didefinisikan sebagai suara berlebihan yang tidak diinginkan dan dapat memiliki efek merusak bagi kualitas kehidupan. Jenis polusi ini umumnya dihasilkan melalui banyak fasilitas industri atau berbagai aktivitas lainnya.

Apa standar dan batas yang menentukan sebuah suara dianggap sebagai polusi?

1. Standar suara

Standar ukuran suara (hearinghealthfoundation.org)

Suara diukur dalam satuan yang dinamakan desibel (dB). Secara umum, skala desibel sendiri dimulai dari angka 0 dB hingga maksimal 160 dB. Angka maksimal yang dimaksud adalah besarnya satuan suara yang tidak dapat lagi ditoleransi oleh alat indra pendengar makhluk hidup, atau dalam hal ini telinga bagi manusia.

  Cara mengerikan jamur Cordyceps tumbuh hingga manfaatnya bagi manusia

Secara garis besar, skala suara standar yang dinilai ‘aman’ bagi manusia berada di kisaran angka 60-70 dB. Adapun sumber suara yang memiliki skala ukuran tersebut berasal dari aktivitas yang lazim dilakukan sehari-hari. Seperti suara percakapan saat berbicara, suara musik yang diputar dengan tenang, dan sejenisnya.

Di atas itu meski terdapat beberapa suara yang dirasa masih bisa ditolerir oleh telinga, sebenarnya sudah dikategorikan sebagai suara yang dapat membahayakan indra pendengar apabila diterima secara terus-menerus.

Beberapa suara di luar standar normal yang dapat ditolerir oleh telinga manusia terdiri mesin pemotong rumput (90 dB), kereta bawah tanah (90-115 dB), dan konser rock keras (110-120 dB).

2. Dampak polusi suara bagi lingkungan

Dampak polusi suara bagi lingkungan di laut (marineinsight.com)

Polusi suara memiliki dampak bagi lingkungan terutama pada satwa liar. Berbagai macam hewan seperti serangga, katak, burung, dan kelelawar, bergantung pada suara untuk berbagai alasan. Polusi suara dapat mengganggu kemampuan mereka untuk menarik pasangan, berkomunikasi, bernavigasi, mencari makanan, atau menghindari pemangsa.

Polusi yang sama juga dapat memengaruhi hewan laut, terutama yang mengandalkan ekolokasi seperti paus dan lumba-lumba dalam hidupnya. Di laut, polusi suara sebagian besar disebabkan oleh suara keras atau yang bersifat mengacaukan seperti kapal dan pengeboran minyak.

  Memahami bagaimana kondisi lapisan ozon bumi saat ini

Lain itu, beberapa suara paling keras dan paling merusak di laut berasal dari perangkat sonar angkatan laut yang dapat menempuh jarak ratusan mil melalui air. Suara sonar angkatan laut oleh para ilmuwan diyakini sebagai salah satu penyebab terdamparnya paus dan lumba-lumba secara massal.

3. Dampak bagi kesehatan manusia

Polusi suara bagi manusia dapat menganggu kondisi kesehatan yang paling umum seperti Noise Induced Hearing Loss (NIHL). Gejalanya bisa ditandai dengan telinga yang berdengung, dan kehilangan kemampuan pendengaran baik bersifat ringan atau sementara.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebut jika dampak polusi suara bagi manusia akan terjadi dalam dua cara, yakni berupa efek langsung dan tidak langsung.

Mengenai efek langsung, gangguan akan terasa pada saraf akustik. Organ telinga bagian dalam berisi cairan yang disebut koklea akan mengubah getaran suara keras menjadi impuls listrik yang langsung menuju ke otak. Kebisingan yang konstan terutama jika suaranya keras, disebut dapat membebani dan membahayakan koneksi berbasis saraf dan menyebabkan gangguan pendengaran.

  Frekuensi angin puting beliung meningkat, benarkah krisis iklim tengah mengintai?

Sementara itu dalam bentuk efek tidak langsung dapat menyebabkan stres emosional tingkat rendah yang memengaruhi tubuh dan pikiran. Di mana stres dapat menyebabkan produksi kortisol yang berlebihan. Kortisol berkaitan dengan hormon kelenjar adrenal yang apabila dihasilkan pada tingkat lebih tinggi kerap dikaitkan dengan penyakit jantung.

Artikel Terkait

Terbaru

Humanis

Lingkungan

Berdaya

Jelajah

Naradata