Gempa bermagnitudo 7,0 yang mengguncang Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB) pada Minggu (5/8/2018), telah meluluhlantakkan infrastruktur khususnya bangunan di Lombok Utara.
Diketahui dampaknya lebih dibandingkan peristiwa gempa tahun 1979. Hal ini terjadi karena guncangan tersebut membuat rumah rusak, sehingga banyak korban jiwa. Hal ini tidak terjadi pada 1979 masih banyak rumah tradisional.
Lalu bagaimana rumah adat memberikan penyelamatan kepada masyarakat Lombok? Dan mengapa hal ini kini mulai menghilang? Berikut uraiannya:
1. Bencana yang menyadarkan

Gempa bermagnitudo 7,0 yang mengguncang Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB) pada Minggu, 5 Agustus 2018 telah meluluhlantakkan infrastruktur khususnya bangunan di Lombok Utara.
Nasir, tokoh masyarakat Genggelang, Kecamatan Gangga menyatakan dampak dari gempa tersebut lebih parah dibandingkan dengan peristiwa gempa tahun 1979. Pada tahun itu tidak ada hingar bingar kepanikan, apalagi sampai mengungsi di posko-posko pengungsian.
“Tahun 1979 juga gempa, saat itu saya masih SMP. Guncangannya mungkin sama dengan kejadiannya 5 Agustus. Tapi saat itu nyaris tidak ada rumah rusak, apalagi korban jiwa,” kenangnya yang diwartakan Suara NTB.
Disebutkan oleh Nasir, terakhir aktivitas gempa sampai merusak perumahan warga terjadi pada tahun 2013 lalu. Tetapi wilayah yang terdampak pun tidak banyak, hanya di beberapa desa di Kecamatan Tanjung.
Hanya hitungan sepekan, gempa memang berulang kali melanda hingga menyebabkan trauma psikis pada warga. Korban meninggal yang lebih dari 470 orang se Kabupaten Lombok Utara (KLU) seolah menyadarkan warga.
Hal ini terkait bahwa pulau yang dihuninya memang rawan dengan gempa. Warga pun mulai berpikir, fisik perumahan yang dibangunnya saat ini tidak cocok, dengan kerawanan gempa yang sewaktu-waktu terjadi.
“Bale balok atau rumah panggung yang dibangun orang tua kita dulu ternyata sudah diperhitungkan, rumah paling aman karena daerah kita paling sering gempa. Kenyataan sekarang seluruh rumah panggung, atau berugak yang selamat. Gedung dan rumah permanen rata-rata roboh,” tegas tokoh masyarakat adat Sesait, H Djekat Demung.
2. Rumah sederhana tahan gempa

Dirinya mengingat betul, gempa kisaran bulan September 1979 itu tidak pula menimbulkan persoalan di pemerintah, terutama mengurus pengungsi. Dirinya yang pernah menjabat Kepala Desa (Kades) Pemusungan Sesait menyayangkan hilangnya rumah adat.
Padahal baginya filosofi orang tua terdahulu layak untuk direnungkan kembali. Bahwa pada dasarnya, mereka lebih memilih rumah panggung karena terikat dengan kesederhanaan, lebih aman dan nyaman akibat guncangan alam.
“Saya tidak mau bicara mitos tetapi kenyataan rumah panggung inilah yang paling tahan gempa. Sekarang juga sama, rumah panggung warga tidak ada yang rusak,” tandasnya.
Dari catatan Kompas, pada gempa tahun 2018 menyebabkan kerusakan bangunan hingga 10.000 unit. Rumah yang berdinding bata, sebagian rusak, retak-retak, bahkan ada yang runtuh sama sekali.
Tetapi dari 10 rumah adat yang tersisa di Bayan, seluruhnya utuh dan masih tegak berdiri. Bagunan ini seluruhnya berbahan kayu dan bambu. Sedangkan atap rumahnya berbahan alang-alang dan dindingnya terbuat dari bilah bambu.
Desa adat lainnya di Kecamatan Bayan, yakni Desa Senaru, juga terbukti tangguh dari guncangan gempa. Dari 20 rumah adat di desa tersebut tak satupun yang cela akibat hantaman dari gempa.
“Saya kapok dan ingin kembali lagi ke rumah asli (rumah adat). Rumah yang saya tinggali sekarang sudah hancur kena gempa,” kata Sardi (27) warga Desa Senaru yang ditulis Aris Prasetyo dalam Mereka yang Merindu Rumah Kayu.
3. Tak mendapat dukungan khusus

Pejabat Kepala Desa Karang Bajo, Kecamatan Bayan, Karyadi menyebutkan bahwa warga yang menginginkan rumah mereka dibangun menggunakan bahan kayu layaknya rumah adat. Tetapi kini tak mudah mendapatkan bahan-bahan untuk membangunnya.
“Pemerintah belum bisa menjamin ketersediaan bahan baku rumah adat itu. Di satu sisi, masih ada kekhawatiran bakal terjadi perusakan hutan untuk memenuhi kebutuhan pembangunan rumah adat,” ucapnya.
Dijelaskan oleh Karyadi, rumah adat di mata pemerintah dianggap sebagai rumah yang tak layak huni. Apalagi bantuan korban gempa untuk membangun kembali rumah yang rusak mensyaratkan rumah harus dibangun dengan dinding bata dan berlantai semen.
Selain itu sebagian masyarakat, katanya, juga berpandangan bahwa rumah berdinding bata dan berlantai semen lebih modern. Hal inilah yang diutarakan Nirahat (60), warga Desa Segenter di Kecamatan Bayan yang membenarkan pendapat tersebut.
Rumah adat di Segenter juga terbuat dari kayu, berdinding bambu, dan beratapkan alang-alang. Mendiami rumah semacam itu, katanya, dianggap masih miskin dan tertinggal. Padahal tak satupun dari puluhan rumah adat di sana yang rusak akibat gempa.
Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah NTB, Ahsanul Khalik mengakui perencanaan pembangunan di NTB belum ramah pada pengurangan risiko bencana. Permintaan rumah adat pun belum bisa diakomodasi.
“itu menjadi tantangan. Sampai saat ini, kita belum punya hasil pengujian yang disahkan oleh pemerintah, dalam hal ini Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, kalau rumah tradisional kita masuk kategori rumah tahan gempa,” tegasnya.