Minusnya skema mitigasi yang sebabkan daya rusak besar pada gempa Cianjur

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp
Gempa bumi (Widi - Flickr Screen/Flickr)

Gempa magnitudo 5,6 di Cianjur dan sekitarnya mengakibatkan korban meninggal dan hilang sebanyak 332 jiwa per 27 November 2022. Secara prinsip, pemerintah memahami masalah mendasar mengapa gempa ini cukup merusak di Cianjur dan sekitarnya.

Pemerintah disebut sudah memiliki peta kegempaan Indonesia yang memberi informasi, salah satunya soal bahaya kegempaan berdasarkan data percepatan gempa. Tetapi pemerintah belum memiliki peta operasi mitigasi gempa.

Lalu bagaimana gempa Cianjur bisa menimbulkan korban jiwa yang besar? Dan bagaimana cara pemerintah belajar dari gempa ini? Berikut uraiannya:

1. Skema mitigasi disorot

Dampak gempa Cianjur (Dok. Forum Cisadane Resik)

Gempa magnitudo 5,6 di Cianjur dan sekitarnya mengakibatkan korban meninggal dan hilang sebanyak 332 jiwa per 27 November 2022. Meskipun kekuatan gempa tidak terlalu besar, tetapi kerusakan dan korban jiwa yang ditimbulkan sangat banyak.

Pejabat Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Daryono menjelaskan tak perlu gempa berkekuatan besar untuk menimbulkan kerusakan di kawasan tersebut. Selain itu ada beberapa faktor yang membuat gempa M 5,6 ini sangat merusak:

  1. Karakter gempa dangkal
  2. Struktur bangunan tidak memenuhi standar gempa,
  3. lokasi permukiman berada pada tanah lunak (local site effect-efek tapak) dan perbukitan (efek topografi)
  Terekam kamera, macan tutul jawa ternyata belum punah di Gunung Lawu

Jonatan A Lassa dalam Sisi Lain Gempa Cianjur: Pemerintah Miliki Peta Gempa, Tapi Tak Punya Skema Mitigasi menyatakan pola komunikasi di atas sering berulang selama 15 tahun reformasi tata kelola bencana di Indonesia.

Padahal jelasnya pemerintah sudah memiliki peta kegempaan Indonesia yang memberi informasi, salah satunya soal bahaya kegempaan berdasarkan data percepatan gempa. Selain itu solusi praktis aman gempa bagi keluarga sederhana juga sudah dimiliki.

Namun dirinya menyoroti tidak adanya peta operasi mitigasi gempa yang lumrah dibuat dalam skala by name, by address. Hal ini padahal perlu diikuti dengan pemantauan rutin setiap rumah dan gedung yang dibangun di tiap jengkal di Republik ini.

“Ibarat memiliki kompas tanpa menggunakannya adalah sebuah tragedi karena berakibat nyawa meregang dalam setiap kejadian gempa,” keluhnya.

2. Menyoroti kekuatan gedung

Ilustrasi gempa bumi (TheONeils2008/Flickr)

Secara geografis wilayah Indonesia berada di kawasan Ring of Fire atau Cincin Api sepanjang 40.000 km dan situs aktif seismik yang membentang di Samudra Pasifik. Hal ini berarti diperlukan aturan hunian tahan bencana alam.

Hal inilah yang diutarakan oleh Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI Ace Hasan Syadzily bahwa hal paling utama yang perlu pemerintah lakukan adalah melakukan identifikasi tingkat kerawanan kebencanaan di masing-masing daerah.

  Air tertua di dunia berusia 2 miliar tahun ditemukan, bisa jelaskan awal mula dunia!

Ditegaskannya suatu bangunan dikatakan tahan gempa jika bagian utama bangunan tersebut, terutama tiang penyangga beban tidak patah dan dindingnya tidak runtuh. Sehingga bangunan tetap tegak.

“Tentu setiap daerah yang memiliki jenis bencananya, treatmennya juga berbeda. Bagi daerah yang potensi bencananya gempa, rumah huniannya harus tahan gempa. Bila daerah tersebut potensi longsor, maka tidak boleh didirikan kawasan hunian di daerah berpotensi longsornya tinggi. Bila daerah pinggiran aliran sungai maka tidak boleh didirikan bangunan-bangunan yang berpotensi menimbulkan banjir,” kata Ace yang diwartakan Merdeka.

Senada dengan Ace, Peneliti Geoteknologi BRIN Adrin Tohari juga menyatakan pembangunan hunian dan gedung-gedung pemerintahan hampir di seluruh wilayah Indonesia belum memenuhi standar nasional Indonesia (SNI) untuk bangunan tahan gempa.

“Bisa dikatakan hunian dan bahkan gedung pemerintah di daerah hampir di seluruh wilayah Indonesia masih belum tahan gempa, karena pembangunannya belum mengikuti kaidah yang benar dan standar yang berlaku,” jelasnya.

3. Literasi kegempaan

Gempa bumi (Widi – Flickr Screen/Flickr)

Pakar Gempa ITB Irwan Meilano meminta perhatian pemerintah terhadap sesar aktif di Pulau Jawa yang berpotensi menimbulkan bencana. Hal ini mengingat temuan para peneliti menunjukan banyak sesar aktif melintasi kawasan berpenduduk padat di Jawa.

  Farwiza Farhan, dipuji Bill Gates dan masuk daftar TIME100 Next 2022

Dirinya mencontohkan ada Sesar Lembang berada sekitar 10 kilometer utara Bandung dengan panjang sesar yang terpetakan mencapai 22 kilometer. Walau besaran gempa dan kapan terjadinya sulit diprediksi, diperlukan monitoring serius.

Dikatakannya gerakan lempeng bumi di sesar ini sebesar 0,2-2,5 milimeter per tahun dengan siklus gempa bumi sekitar 500 tahun. Tetapi mengingat siklus gempa berulang, namun ada gap literasi sejarah kegempaan Indonesia.

“Sehingga ulang tahun gempa berulang itu perlu data yang cukup panjang. Itu menjadi problem saat ini. Literasi kita masih belum banyak,” paparnya yang dimuat Mongabay Indonesia.

Selain literasi kegempaan yang jadi pekerjaan rumah, menurutnya ada juga yang mesti dibangun yaitu sense of security (pengamanan) masyarakat yang sangat lemah. Karena itu peristiwa gempa tektonik menjadi momentum memulai menerapkan pola mitigasi.

“Jadi kita sudah punya informasi dari kejadian Cianjur, dan itu sudah bisa kemudian menjadi dasar bagi pengambil kebijakan di pemerintah,” tuturnya.

Artikel Terkait

Terbaru

Humanis

Lingkungan

Berdaya

Jelajah

Naradata