Pentingnya memahami makna Greenwashing

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp
contoh produk yang terapkan greenwashing (brian yurasits/Unsplash)

Kekinian semakin gencar berbagai upaya yang dilakukan berbagai perusahaan untuk membuktikan komitmennya terhadap kelestarian lingkungan. Tapi, apa jadinya jika semua teriakan kepedulian lingkungan yang dilakukan hanyalah bentuk greenwashing semata?

Apa itu greenwashing?

Istilah satu ini mungkin masih asing bagi sebagian besar orang. Padahal, menurut beberapa kalangan praktik dari istilah tersebut kini dapat dengan mudah ditemui dalam kehidupan sehari-hari. Baik dari lingkup yang paling kecil hingga besar sekalipun.

Mengutip Business News Daily, greenwashing adalah upaya yang dilakukan organisasi atau perusahaan dalam membangun citra dan ‘bukti’ komitmen terhadap gerakan ramah lingkungan. Memangnya apa yang salah dengan hal tersebut?

Salah, jika kenyataannya komitmen yang mereka gaungkan hanya gimik semata. Ditambah, citra tersebut kenyataannya bertolak belakang dengan identitas perusahaan yang secara jelas memberikan dampak kerusakan terhadap lingkungan.

1. Istilah yang lahir sejak lama

Ilustrasi greenwashing (marijke b./Flickr)

Bukan hal baru, istilah greenwashing sendiri pertama kali digunakan oleh seorang ahli lingkungan bernama Jay Westerveld pada tahun 1986. Dirinya menciptakan istilah tersebut setelah terinspirasi dari fenomena yang dijuluki “save the towel” pada masanya.

  Kisah Nabi Musa membelah laut merah, adakah penjelasan ilmiahnya?

Fenomena tersebut adalah gerakan yang digaungkan para pengusaha hotel di masa lampau, agar para tamu menggunakan kembali handuk mereka untuk menyelamatkan lingkungan. Padahal, gerakan tersebut diketahui menguntungkan hotel karena pengurangan biaya binatu yang lebih rendah bahkan berkurang.

Di masa kini, praktik greenwashing lebih mudah ditemukan dengan skala lebih besar. Secara sederhana, banyak perusahaan yang menggemborkan produk, upaya, atau citra ramah lingkungan lengkap dengan berbagai istilahnya. Mulai dari eco-friendly, biodegradable, sustainable, plant-based, dan lain-lain.

Padahal jika detilisik lebih mendalam, ada sisi lain dari perusahaan terkait yang memberikan kerusakan lebih besar bagi lingkungan. Dalam kasus yang lebih ekstrem, praktik greenwashing bahkan banyak hanya dijadikan sebagai alat untuk bersaing antar perusahaan di ranah yang sama.

2. Greenwashing Berbeda dengan green marketing

Protes greenwashing (Markus Spiske/Unsplash)

Selain greenwashing ada istilah serupa yang terkadang sulit dibedakan, yakni green marketing. Dalam praktiknya, jika salah langkah dalam menerapkan green marketing maka perusahaan atau organisasi terkait bisa dicap melakukan greenwashing.

Masih mengutip sumber yang sama, green marketing adalah upaya perusahaan dalam menjual produk atau layanan yang memang bertujuan untuk menjaga lingkungan. Pembedanya, green marketing lebih jujur dan transparan sehingga masyarakat tidak meragukan lagi komitmen keberlanjutan yang mereka lakukan.

  Honai, rumah adat Papua yang ternyata lebih dulu terapkan prinsip eco-friendly

Karena itu, cara paling efektif untuk membedakan greenwashing dan green marketing adalah dengan melihat bukti konkret akan upaya yang mereka lakukan. Mulai dari keberlanjutan produk atau layanan yang dihasilkan, tanggung jawab, hingga transparansi serta data juga informasi yang dibuka ke publik, mengenai dampak aksi lingkungan yang mereka lakukan.

3. Antara strategi pemasaran dan tekanan keberlanjutan

produk dengan label greenwashing yang tetap mencemari lingkungan (brian yurasits/unsplash)

Di saat yang bersamaan, fenomena greenwashing sendiri bisa muncul dan banyak terjadi karena beberapa alasa. Pertama, semakin tinggi kesadaran masyarakat tentang pentingnya gerakan ramah lingkungan. Seperti yang terjadi dalam beberapa tahun ini, dan meningkatkan kebutuhan masyarakat terhadap produk yang lebih eco-friendly.

Menurut Indeks Keberlanjutan Bisnis 2021 yang diterbitkan oleh GreenPrint, diketahui jika 64 persen konsumen Gen X akan membelanjakan lebih banyak uang untuk suatu produk yang berkelanjutan. Ditambah lagi, persentase tersebut akan meningkat menjadi 75 persen di kalangan milenial. Kondisi tersebut yang membuat perusahaan begitu gencar menggaungkan citra ramah lingkungan.

Kedua, adanya tekanan aksi keberlanjutan (SDG) yang digaungkan secara global baik dari organisasi dunia seperti PBB, hingga pemerintah di masing-masing negara. Mengutip publikasi di laman green.ui.ac.id, greenwashing kerap dilakukan dengan membesar-besarkan dampak yang sebenarnya kecil. Lain itu, sering juga menggaungkan aktivitas yang padahal normal bahkan wajib dilakukan untuk memenuhi tekanan dipenuhinya prinsip SDG.

  Ramah lingkungan, ini 3 cara tangkap hasil laut ala orang Timur

Karena dua kondisi di atas, perusahaan kebanyakan terlalu fokus menghabiskan materi dan usaha untuk memenuhi ekspektasi masyarakat, atau sekadar formalitas memenuhi kewajiban SDG. Yang mana jika dilihat dari segi materi dan dampak, apa yang mereka lakukan sangat jauh dari realisasi pelestarian lingkungan yang mungkin tidak seberapa. Gambaran tersebutlah yang secara penuh menggambarkan praktik greenwashing.

Artikel Terkait

Terbaru

Humanis

Lingkungan

Berdaya

Jelajah

Naradata