Potensi tumbuhan endemik bergetah nikel dari hutan Sulawesi

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp
Tumbuhan yang mampu menyerap nikel (ANTONY VAN DER ENT)

Ternyata ada tumbuhan langka yang memiliki getah nikel dalam jumlah besar diduga tersembunyi dalam hutan Sulawesi. Kemampuan alamiah tumbuhan itu ditemukan Aiyen Tjoa, seorang ahli biologi tanah dan dosen di Universitas Tadulako Sulawesi Tengah.

Tjoa menemukannya saat menjelajahi sebuah wilayah pertambangan kecil di Desa Sorowako, Kecamatan Nuha, Luwu Timur, Sulawesi Selatan. Kawasan Sorowako dulunya adalah habitat bagi aneka ragam tumbuhan, sebagian besar adalah tumbuhan endemik.

Dalam Journal of Geochemical Exploration 165 (2016) disebut bahwa wilayah ini kemudian menjadi salah satu kawasan pertambangan nikel terbesar di dunia, yang diperkirakan satu perusahaan tambang bisa mengekstraksi 5 persen dari pasokan nikel global.

BBC menulis, Tjoa yang tiba di Sorowako pada 2004 melihat dominasi vegetasi yang sudah dibabat habis, dan hanya tertinggal tanah tandus dan jalan berdebu.

Namun begitu, ada beberapa semak dan tunas pohon muda yang masih terlihat. Salah satunya tumbuhan yang merupakan “tumbuhan super”. Dikatakan super karena tumbuhan ini mampu beradaptasi dengan lingkungan sekitar dan memiliki kemampuan menyerap nikel dari tanah, dan kemudian menyimpannya dalam bentuk getah.

Menurut Tjoa, tanaman kaya nikel ini bisa dipanen sebagai sumber nikel alternatif yang dampaknya cukup ramah bagi lingkungan. Tumbuhan yang ditemukan Tjoa setelah meneliti selama 4 tahun (2004-2008) memiliki nama ilmiah Sarcotheca celebica, dan Knema matanensis.

Mampu menampung ribuan mikrogram nikel

Tumbuhan dengan getah nikel berwarna kehijauan (ANTONY VAN DER ENT)

Tumbuhan yang ditemukan itu kemudian dikenal sebagai tumbuhan hiper-akumulator nikel yang memiliki kemampuan daya tampung sekira 1.000-5.000 mikrogram nikel dalam setiap gram daunnya. Masih menurut Tjoa, tumbuhan pada dasarnya tumbuhan ini bisa menyimpan serapan nikel pada tunas, daun, akar, maupun getah.

  Hari Cinta Puspa dan Satwa Nasional, apa kabar flora fauna endemik Indonesia?

Tjoa juga menjelaskan bahwa tumbuhan satu ini memiliki kemampuan mengikat kelebihan nikel ke dalam dinding sel, atau bahkan menyimpannya di dalam vakuola, yakni organel di dalam sel.

Beberapa spesies tumbuhan penyuka nikel seperti Alyssum murale, yang tumbuh subur di Italia, mampu menyerap hingga 30.000 mikrogram nikel per satu gram daun kering. Kemudian ada Phyllantus balgoyii asal Malaysia yang memiliki kandungan nikel sangat tinggi hingga getahnya berwarna biru kehijauan cerah.

Dalam catatan The University of Queensland, ada sebanyak 450 spesies tumbuhan penyerap nikel telah didokumentasikan di seluruh dunia. Kebanyakan dari mereka justru tumbuh pada tanah yang memiliki unsur nikel sedikit, seperti di Kuba (130 spesies), Eropa selatan (45 spesies), Kaledonia Baru (65 spesies), dan Malaysia (24 spesies).

Mulanya Tjoa beranggapan cukup aneh bahwa hanya sedikit tumbuhan seperti itu ditemukan di Indonesia, padahal Indonesia memiliki simpanan nikel terbesar di dunia.

Akan tetapi ia kemudian berkesimpulan bahwa bukan sedikit tumbuhan nikel ada di Indonesia, melainkan tak banyak yang mencari tahu soal keberadaan tumbuhan itu. Artinya, ada potensi tumbuhan-tumbuhan serupa yang bakal ditemukan nantinya.

Keistimewaan tumbuhan hiper-akumulator nikel adalah mereka mampu mengumpulkan sesuatu yang merupakan polutan bila tetap berada di tanah, namun pada saat yang sama–polutan tersebut–merupakan material yang berharga.

Dukungan penelitian

daun pada tumbuhan nikel (ANTONY VAN DER ENT)

Dalam catatan LIPI, dari 11 jenis Sarcotheca yang ada di dunia, 8 di antaranya dapat dijumpai di Indonesia dan ditemukan tumbuh di wilayah Sumatra, Kalimantan, dan Sulawesi. Sementara jenis Sarcotheca celebica yang tumbuh di Sulawesi, menurut peneiti jenis ini dinyatakan sebagai tumbuhan endemik.

  Budikdamber, cara budidaya ikan dan sayur di satu tempat

Sementara untuk Knema matanensis, seperti dijelaskan Earth.com adalah spesies tumbuhan dalam keluarga Myristicaceae yang juga merupakan tumbuhan endemik Pulau Sulawesi.

Penelitian Tjoa ini kemudian menarik perhatian Satria Bijaksana, guru besar di bidang kemagnetan batuan dari Institut Teknologi Bandung (ITB). Kala itu Satria sedang mencari penelitian yang relevan tentang hubungan geologi dan ekologi di Sulawesi. 

Kemudian Satria mencoba kolaborasikan tentang keahliannya di bidang kemagnetan, apakah bisa mempercepat proses penelitian tersebut. Karena tumbuhan hiper-akumulator mengandung logam dalam jumlah tinggi, maka tentu abunya akan bereaksi pada magnet usai daunnya dibakar.

Melalui sejumlah penelitian itu, ada hal yang menunjukkan serapan nikel, zat besi, dan logam oleh tumbuhan. Bersama Tjoa, Satria kemudian merancang eksperimen untuk melihat apakah sifat magnetis ini meningkat seiring dengan banyaknya serapan nikel.

Dengan membandingkan abu dari tumbuhan hiper-akumulator yang sudah terlebih dulu ditemukan (Alyssum murale dan Alyssum corsicum) dengan 10 tanaman asli dari Sulawesi dan Halmahera, mereka menemukan hasil positif. Salah satu tumbuhan lokal ini mengandung nikel dan kandungan besi tinggi.

Penelitian mereka kemudian diterbitkan pada Mei 2020–dalam laman ResearchGate–yang mengidentifikasi dua spesies lagi dari Sulawesi, yakni Casearia halmaherensis dan satu lagi sejenis merica.

Dua spesies ini bisa mengakumulasi 2.600-2.900 mikrogram nikel dalam satu gram daun. Meski penelitian ini masih dalam tahap awal, Satria berharap temuan ini mampu meyakinkan orang soal keseriusan metode Phytomining.

Metode penambangan ramah lingkungan

Penambangan nikel secara tradisional (getty images)

Metode Phytomining memang diklaim lebih ramah lingkungan ketimbang penambangan tradisional. Di Sorowako, nikel diekstraksi melalui penambangan terbuka untuk menjangkau nikel yang tertanam dalam bebatuan.

  Kasoami, penganan singkong legendaris dari Pulau Buton

Berbeda dengan Phytomining, penambangan nikel tradisional juga menghasilkan limbah semi cair beracun bernama tailing. Jika tidak dikelola dengan baik, tailing akan membawa arsenik dan merkuri ke lingkungan sekitar.

Dalam catatan lain, penambangan tradisional adalah penyumbang emisi karbon cukup besar, yakni melepaskan sekitar 10 persen emisi rumah kaca (GRK), setidaknya pada 2017.

Dengan metode Phytomining, selain lebih ramah lingkungan untuk menambang nikel, tumbuhan ini juga bisa membantu merehabilitasi tanah bekas pertambangan. Tjoa pun bilang, sebagian besar perusahaan tambang di Indonesia mengabaikan kewajiban untuk menanami kembali situs tambang dengan vegetasi.

Tumbuhan hiper-akumulator nikel pun dapat dipakai untuk merehabilitasi tanah menjadi lebih baik, karena bisa meningkatkan kesehatan tanah dengan cara menghilangkan nikel dan mengembalikan nutrisi utama yang dibutuhkan tumbuhan lain.

Mengingat keanekaragaman tumbuhan dan sejarah geologis yang luar biasa, Indonesia diyakini memiliki potensi besar untuk ditemukannya tumbuhan hiper-akumulator nikel. Sulawesi dan Halmahera, serta pulau-pulau tetangga Sorowako, memiliki batuan dasar ultrabasa terbesar di dunia, yang kemungkinan kaya akan nikel dengan jangkauan 23.400 hektare.

Bahkan di Sulawesi Tengah, kata Tjoa, ada sebuah hutan hujan tumbuh di atas tanah kaya nikel yang membentuk wilayah pegunungan di cagar alam Morowali. Tanahnya berwarna keabu-abuan dan terbentuk di atas batuan dasar yang disebut serpentinite. Tanah itu diyakini sebagai media tepat untuk pertumbuhan spesies tumbuhan penyerap nikel.

Artikel Terkait

Terbaru

Humanis

Lingkungan

Berdaya

Jelajah

Naradata