Pranata manga, sistem penanggalan musim tanam yang dekatkan petani dengan alam

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp
Kegiatan preservasi budaya pertanian tradisional Rojolele Delanggu (Dok. GAPOKTAN dan FSRD UNS)

Pranata mangsa merupakan sistem penanggalan atau kalender yang dikaitkan dengan aktivitas pertanian, khususnya untuk kepentingan bercocok tanam atau penangkapan ikan. Kalender ini disusun berdasarkan para peredaran matahari.

Pranata mangsa disusun oleh nenek moyang etnis Jawa untuk menandai permulaan atau berakhirnya musim tanam. Pranata mangsa dipercayai karena berdasarkan pengetahuan kolektif yang mengamati alam dengan ilmu “titen” atau mengamati gejala terdahulu.

Lalu bagaimana pranata mangsa ini menjadi tradisi bagi para petani? Dan apakah tanggalan ini masih relevan pada masa kini? Berikut uraiannya:

1. Pranata mangsa

Sawah (Arya Suryadi/Flickr)
Sawah (Arya Suryadi/Flickr)

Masyarakat Jawa biasanya telah mempersiapkan lahan persemaian padi, meski belum turun hujan. Mereka akan melihat perilaku binatang seperti kucing kawin, munculnya jangkrik, dan burung menyuapi anaknya, ini menjadi indikator musim kemarau hampir datang.

Perhitungan musim dengan memperhatikan fenologi atau perilaku hewan dan tumbuhan itu disebut pranata mangsa. Pranata mangsa merupakan sistem penanggalan atau kalender yang dikaitkan dengan aktivitas pertanian.

Menurut Ir Anjal Ani Asmara, dosen Agrometeorologi di Universitas Gadjah Mada, pranata mangsa disusun oleh nenek moyang etnis Jawa untuk menandai permulaan atau berakhirnya musim tanam.

“Mereka menggunakan pranata mangsa sebagai patokan untuk bercocok tanam dan melaut bagi nelayan,” paparnya yang dimuat dalam Warisan Kalender Tani dan Tonggeret terbitan Trubus.

Anjal menyebut pranata mangsa merupakan kalender surya yang dikaitkan dengan kalender Gregorian. Masyarakat Jawa mulai menggunakan pranata mangsa jauh sebelum sistem kalender itu ditetapkan saat masa pemerintahan Raja Pakubuwono VII pada 22 Juni 1855.

  Merindu dayang rindu, komoditas padi unggulan masyarakat Musi Rawas

Imam Budhi Santosa, budayawan dari Dewan Kesenian Yogyakarta mengatakan saat itu Keraton Solo perlu legitimasi rakyat setelah perjanjian Giyanti. Rakyat saat itu beranggapan kekuasaan sudah hilang dari Solo dan beralih ke Kesultanan Yogyakarta.

Menurutnya pembakuan pranata mangsa sebagai hukum formal sebetulnya atas dorongan penguasa kolonial yang berkepentingan terhadap lahan pertanian di wilayah Keraton Solo. Ketika itu kas pemerintah kolonial terkuras untuk pembiayaan perang Diponegoro dan Padri.

“Sehingga pemerintah kolonial ingin memaksa masyarakat menanam tebu. Namun, untuk legitimasi, mereka perlu melibatkan pihak keraton,” paparnya.

2. Ilmu titen

Ilustrasi petani (Maude Bardet/Flickr)

Imam menyatakan nenek moyang bangsa Jawa menyusun pranata mangsa berdasarkan pengetahuan kolektif yang mengamati alam, dengan ilmu titen atau mengamati gejala yang mendahului atau menyertai suatu kejadian.

Misalnya saat tonggeret atau garengpung mulai berbunyi, biasanya muncul angkup nangka (tunas buah nangka setelah fruitset), menjadi patokan perubahan musim. Masyarakat Jawa menerjemahkan suara tonggeret sebagai indikasi musim kemarau.

Penanggalan pranata mangsa itu terdiri atas 12 mangsa alias musim. Durasi sebuah mangsa bervariasi antara 23-41 hari dengan indikasi berbeda-beda. Tanggal 22 Juni 1855 merupakan tanggal 1 mangsa ke 1 tahun ke 1 kalender pranata mangsa.

  Pantai Pesisir Jawa terancam gempa 8,7 SR dan tsunami 10 meter, mitigasi apa yang perlu dilakukan?

Pada saat itu daun-daun berguguran, muncul belalang, dan bintang beralih. Oleh karena itu watak musim pertama adalah daun berguguran. Penetapan pranata mangsa itu ternyata berkaitan dengan gejala alam.

Pranata mangsa juga diterapkan di berbagai suku di Indonesia. Misalnya wariga di Bali, palontara di Sulawesi Selatan, porhalaan di Sumatra Utara, dan kala di jawa Barat. Dengan pranata mangsa para petani bekerja mengikuti keseimbangan alam.

“Karena itu wajar bila budidaya pertanian sangat efektif dan hemat.” tandasnya.

3. Mulai tergeser

Ilustrasi petani di pagi hari (David Lazar/Flickr)

Tetapi pada 1950-1980 hadirnya gerakan revolusi hijau telah menggeser pranata mangsa. Revolusi hijau merupakan gerakan yang terdiri atas tiga pilar utama yakni sistem irigasi, penggunaan pupuk kimia, pestisida, dan benih unggul.

Memang dengan penerapan revolusi hijau terjadi peningkatan hasil tanaman pangan berlipat ganda. Indonesia bahkan meraih swasembada beras pada 1983 antara lain karena revolusi hijau.

Bahkan dengan revolusi hijau memungkinkan penanaman padi tiga kali dalam setahun, Tetapi lantaran ingin tiga kali menanam padi, maka perlu membangun irigasi, menyediakan bibit transgenik, pupuk, dan pestisida yang malah memberikan dampak buruk.

  Ternyata selama ini hanya nyamuk betina yang menghisap darah manusia

Prof Dr Yunita Triwardani Winarto, peneliti perubahan iklim dan perilaku petani dari Departemen Antropologi Universitas Indonesia mengatakan jadwal tanam padi yang semula tergantung pada air hujan kini ditentukan oleh pasokan air irigasi.

Selain itu dalam revolusi hijau, semakin banyak petani menggunakan pestisida hingga memunculkan hama dan penyakit. Padahal dalam sesaji, para petani memberikan gula untuk mengundang semut yang menjadi predator telur dan larva wereng.

“Revolusi hijau makin menjauhkan para petani dengan pranata mangsa. Kondisi itu diperparah dengan perubahan iklim,” ungkapnya.

Meski demikian pranata mangsa tetap relevan untuk diterapkan pada saat ini. Misalnya petani di Kabupaten Gunung Kidul yang kadang abai dengan gugurnya daun menjelang musim hujan, harus mendapatkan hasilnya yaitu gagal panen.

Pranata manga mencerminkan kehidupan para petani dengan alam. Mereka menganggap alam bukan ladang garapan untuk diperas, mengejar kuantitas setinggi-tingginya. Karena kedekatannya dengan alam itu, para petani paham betul watak alam.

Artikel Terkait