Jagat media sosial di Indonesia belakangan sedang dibuat heboh. Bukan tanpa alasan, keramaian terjadi karena adanya klaim penemuan alat penghasil bahan bakar kendaraan alternatif, bernama Nikuba.
Penemuan ini sukses mencuri perhatian, karena dianggap sebagai solusi di tengah kondisi krisis naiknya harga BBM sebelumnya. Yang membuat penemuan ini semakin berkesan, adalah karena keberadaannya yang sudah diuji coba dan digunakan oleh kendaraan TNI Kodam III Siliwangi.
Awalnya memang sempat mendapat banyak pujian, namun belakangan kabar tersebut diikuti dengan pro dan kontra. Terlebih setelah muncul pandangan dari sisi cara kerja ilmiah yang disampaikan oleh para ahli.
Bagaimana sebenarnya alat nikuba bekerja, dan benarkah dapat diandalkan menjadi bahan bakar pengganti bensin sepenuhnya?
1. Dibuat oleh warga Cirebon
Seorang pria berusia 67 tahun bernama Aryanto Misel, merupakan sosok pembuat alat nikuba. Dirinya mengeklaim jika alat tersebut dapat mengonversi air menjadi bahan bakar kendaraan bermotor, khususnya kendaraan roda dua.
“Kalau kita bicara Nikuba, ini bukan sebagai penghemat BBM lagi, tapi full ini 100 persen dari air,” tegas Aryanto, mengutip Detik.com
Masih menurut sumber yang sama, Aryanto mengungkap jika ia sampai mengorbankan tiga buah motor untuk menyempurnakan alat tersebut. Ia mengaku awal menciptakan nikuba pada lima tahun lalu, sebagai penghemat bahan bakar kendaraan mobil.
Setelahnya karena didorong oleh seorang teman, Aryanto kemudian mencoba untuk menyempurnakan alat tersebut. Tujuannya, agar nikuba dapat 100 persen berfungsi di sepeda motor tanpa bergantung pada bahan bakar bensin.
“Akhirnya saya ulik sampai lima tahun. Selama perjalanan lima tahun itu saya sudah habis dua atau tiga motor. Tapi terus saya tekuni, akhirnya bisa sempurna mulai tahun ini,” jelasnya.
Aryanto juga mengungkap mengenai detail daya tempuh yang bisa dilalui oleh satu liter air yang dikonversi dengan alat tersebut. Di mana menurutnya, satu liter air dapat membuat sepeda motor melakukan perjalanan pulang-pergi jarak Cirebon-Semarang.
2. Penjelasan ahli mengenai nikuba
Pro dan kontra muncul ketika sejumlah ahli salah satunya perwakilan BRIN mulai menjelaskan konsep dari alat buatan Aryanto. Beberapa sumber ilmiah bahkan meluruskan jika istilah kendaraan berbahan bakar air sebenarnya ‘menyesatkan’. Karena air adalah senyawa yang tidak dapat terbakar.
Satu-satunya cara untuk mendapat energi dari air adalah dengan memecah air yang memiliki rumus senyawa kimia H2O, menjadi Hidrogen dan Oksigen. Kemudian, gas hidrogen itu lah yang digunakan sebagai bahan bakar, bukan airnya secara langsung.
Metode mengonversi air tersebut dalam dunia sains dikenal dengan istilah elektrolisis. Nyatanya untuk membuat hidrogen bekerja menjadi bahan bakar dalam proses elektrolisis, diperlukan kandungan zat-zat kimia lain yang cenderung lebih mahal, seperti litium dan natrium.
Pada akhirnya, klaim energi alternatif air ini akan sama saja atau bahkan lebih mahal dibanding bahan bakar kendaraan biasa. Eniya Listiani Dewi, selaku profesor riset dari BRIN menyebut jika alat yang dibuat Aryanto tidak bisa menggantikan konsumi BBM, melainkan hanya untuk efisiensi.
“Itu adalah HHO atau brown-gas yang digunakan untuk pembakaran, bukan pengganti BBM ya, tapi bisa untuk efisiensi BBM sekitar 3-20 persen,” tegasnya.
3. Bukan hal baru
Sementara itu ahli lainnya yakni Tri Yuswidjajanto Zaenuri, selaku Ahli Konversi Energi dari ITB juga menyampaikan penjelasan serupa. Lebih jauh, dirinya mengungkap jika teknologi satu ini sebenarnya bukan hal baru, melainkan penemuan yang sudah lama ada, tepatnya sejak tahun 1960-an.
“Itu (teknologi) sudah lama banget. Coba lihat saja di (situs jual beli) Tokopedia, tulis ‘Joko Energy’, keluar semua alatnya itu. Jadi yang ngembangin udah banyak. Termasuk (tutorialnya) di Youtube, juga udah banyak banget,” ungkapnya, mengutip Detikoto.
Lebih jauh, Yus juga menyebut jika penggunaan teknologi ini tidak akan pernah bisa menggantikan bensin. kalaupun digunakan dalam waktu lama, dirinya mengungkap akan ada dampak kerusakan yang dialami oleh mesin.
“Mungkin bisa saja sih (alat itu digunakan), tapi kalau pakai yang seperti itu ya engga akan cukup, mungkin hanya bisa untuk idle (langsam) saja ya dan itu cuma sebentar,” papar Yus.
Hal tersebut lantaran energi yang diperlukan untuk proses elektrolisis air menjadi hidrogen, lebih besar ketimbang energi pembakaran hidrogen menjadi bahan bakar di mesin.
“Lama-lama aki bisa tekor karena secara keseimbangan energi tidak cukup. Lebih besar untuk memproduksi dari pada yang berguna. Jadi tak hanya butuh aki, tapi juga tetap butuh bensin,” jelasnya lagi.