Cara orang Jawa membaca pertanda bencana alam

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp
Gempa bumi (Widi - Flickr Screen/Flickr)

Pada kearifan lokal masyarakat Jawa, fenomena alam seringkali dihubungkan dengan primbon. Salah satunya gempa Malang yang terjadi pada bulan April tahun 2021 silam yang disebut pertanda akan berakhirnya pagebluk atau wabah.

Bagi masyarakat Jawa, primbon menjadi salah satu cara mereka melihat pertanda datangnya sebuah bencana. Orang Jawa yang meyakini primbon, pemikirannya dianggap sangat gugon tuhon (takhayul).

Lalu bagaimana tradisi primbon ini mewarnai kepercayaan masyarakat Jawa? Dan benarkah bencana alam bisa diprediksi melalui primbon? Berikut uraiannya:

1. Gempa bumi dan primbon

Gempa bumi (Widi – Flickr Screen/Flickr)

Kitab primbon merupakan karya sastra kebudayaan Jawa yang dibuat oleh atau Patih Danurejo VI atau Kanjeng Pangeran Harya Tjakraningrat. Dirinya merupakan salah satu patih dari Keraton Yogyakarta (1900-1911).

Dikutip dari berbagai sumber, sebelum menjadi patih kerajaan Patih Danurejo VI merupakan seorang seniman. Dia menulis primbon yang mulanya merupakan catatan yang kemudian dianggap sebagai pedoman hidup.

Selain itu, dalam kearifan lokal masyarakat Jawa, fenomena alam juga seringkali dikaitkan dengan primbon. Salah satunya adalah ketika terjadi gempa Malang yang disebut pertanda akan berakhirnya pagebluk atau wabah.

Seperti adanya gempa bumi atau Lindu di bulan penanggalan Jawa, yakni di bulan Ruwah dan terjadi pada siang hari menurut primbon akan berakhirnya pagebluk atau wabah seperti Corona saat ini.

  Pelabuhan Sabang, sisa kejayaan pintu gerbang Indonesia dua abad silam

“Pada akhirnya akan seperti itu (berakhirnya pagebluk). Namun ada riak-riak menuju landai. Seperti sakit demam berdarah, menjelang sakit akan panas tinggi. Skema pelana kuda, menurut saya seperti itu,” kata Hari Langit, Ketua Penghayat Kepercayaan Blitar yang dimuat Detik.

Hari melanjutkan bahwa semua yang terjadi di alam merupakan kejadian sebab dan akibat. Seperti penggundulan hutan yang menjadi pemicu timbulnya global warming. Kondisi ini menimbulkan cuaca ekstrem yang tidak bisa diprediksi.

Baginya primbon merupakan ilmu titen-titen atau hasil pengamatan tanda-tanda yang terjadi pada alam. Ilmu ini diperoleh seseorang yang mengasah kepekaannya pada tanda-tanda alam, melalui olah rasa (batin) dan olah pikir atau Among Roso.

2. Primbon dan tanda alam

Primbon Jawa (Commons Wikimedia)

Menurut Hari, pada zaman dahulu, orang-orang rajin mencatat tanda alam dan bersifat sangat lokal. Karena itulah mereka bisa membaca tanda-tanda zaman. Karena itu antara mikrokosmos dan makrokosmos bisa menyatu.

“Sehingga gelombang dan getaran yang dipancarkan alam, bisa diterima dan terjemahkan secara rasional,” paparnya.

Slamet Muljana dalam Negarakertagama dan Tafsir Sejarahnya menyebut dalam kitab tersebut dikisahkan terjadinya peristiwa alam yang menjadi isyarat kelahiran Raja Hayam Wuruk, maharaja keempat Kerajaan Majapahit.

  Kemuliaan andong sebagai alat transportasi bagi kalangan bangsawan di Yogyakarta

Peristiwa alam yang terjadi pada Negarakertagama ditafsirkan sebagai isyarat akan keluhuran sang bayi. Seperti gempa bumi di Banu Pindah, hujan abu diikuti guruh dan halilintar.

“Sebagai isyarat kebesaran itu terlaksana setelah baginda dewasa dan memegang tampuk kepemimpinan. Kerajaan aman dan tenteram, bebas dari kejahatan,” Ucap Slamet yang dimuat Solopos.

Dirinya menerjemahkan kalimat tahun saka memanah surya sebagai petunjuk tahun terjadinya peristiwa pada tahun 1256 Saka. Serat Pararaton juga memberitakan, setelah peristiwa Sadeng, terjadi gempa bumi di Banu Pindah pada tahun 1265 Saka.

Diketahui Peristiwa Sadeng adalah perlawanan Sadeng melawan Kerajaan Majapahit, sebagai pembalasan atau kematian Nambi. Dia dan Kerta serta orang-orang Sadeng terlibat perang dengan pasukan Majapahit pada tahun 1331 Masehi.

3. Membaca bencana dari Primbon

Api dalam laut (Tom Schwabel/Flickr)
Api dalam laut (Tom Schwabel/Flickr)

Suwardi Endraswara dalam Membaca Primbon Bencana Alam menyatakan primbon merupakan bagian dari gugon tuhon tuhan atau takhayul Jawa. Gugon tuhon terhadap hadirnya bencana alam, dianggap hal menakutkan.

Paling tidak, jelasnya, bencana alam akan dianggap mengancam keselamatan jiwa. Berpikir primbonistis, didasarkan kecerdasan Jawa boleh disebut pola pikir TOP (titen atau ingat, open atau terawat, dan panen).

  Banjir Sangatta mulai surut, SalamAid galang bantuan sandang dan pangan

Dijelaskannya titen adalah pengalaman yang dilandasi hal yang berulang-ulang. Nantinya pengalaman ini dapat tersimpul dalam sebuah pola open (dokumentasi) yang dinamakan primbon yang menjadi pengetahuan Jawa.

“Pengetahuan yang teruji oleh pengalaman itu akan menjadi ngelmu (panen) yang dapat menyelamatkan hidup orang Jawa,” katanya.

Walau begitu bencana alam dipahami orang Jawa tidak datang tiba-tiba, tetapi datang seperti saat dalang melakukan antawecana (melagukan cerita wayang), menjelang gara-gara (huru-hara), dengan gedogan (pemukulan kotak berkali-kali).

Kemudian, kata-kata dalang akan semakin meninggi. Gunungan tegak yang menjadi tanda. Di sini orang yang menonton wayang sudah siap mental, bahwa sebentar lagi akan terjadi gara-gara atau bencana.

Menurut Suwardi inilah yang membuat orang Jawa tidak akan menjadi kagetan (gampang terkejut) dan gumunan (keheranan), sehingga tidak tahu akan dirinya yang sejati. Karena itulah saat ada tanda-tanda aneh, primbon harus dimainkan.

“Alam pun sering menyambutnya dengan gebrakan dahsyat, gempa bumi, banjir besar, tsunami, distorsi cuaca yang sangat gawat, wabah penyakit (pagebluk),” pungkasnya.

Artikel Terkait