Cerita perkebunan tembakau yang beri kemakmuran di Sumatra Timur

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp
Ilustrasi tembakau (Don Sniegowski/Flickr)

Panglima Goncah Pahlawan ketika meninggalkan Aceh dan membangun Kesultanan Deli di Sungai Lalang Percut pada tahun 1630. Dirinya tidak pernah berpikir bahwa keturunannya akan hidup makmur di Sumatra Timur (kini Sumatra Utara).

Perkebunan tembakau yang subur pernah membawa Langkat, Serdang, dan Deli termasyur. Bahkan karena hasil alam yang begitu besar, Sultan mampu membangun istana baru, Istana Maimoon, dan hidup dalam kemewahan.

Lalu bagaimana kemampuan Kesultanan Deli menjadi kerajaan yang sukses? Dan apa peran tembakau bagi kesultanan tersebut? Berikut uraiannya:

1. Awal kesultanan

Istana Maimoon (mahmurshoot/Flickr)

Panglima Goncah Pahlawan ketika meninggalkan Aceh dan membangun Kesultanan Deli di Sungai Lalang Percut pada tahun 1630. Dirinya tidak pernah berpikir bahwa keturunannya akan hidup makmur di Sumatra Timur (kini Sumatra Utara).

Dirinya mendapat gelar Panglima Deli dari Aceh, hal ini ditulis oleh Tuanku Luckman Sinar Basarshah II di Bangun dan Runtuhnya Kerajaan Melayu di Sumatra Timur. Goncah ditugaskan menghancurkan sisa perlawanan Kerajaan Haru di Sumatra Timur.

“Alasannya kerajaan tersebut dianggap menandingi Malaka dan Aceh pada abad ke 13 sampai abad ke 16,” tulisnya.

Disebutkan oleh Luckman, Goncah diberikan tugas mengembangkan misi Islam ke pedalaman dan mengatur pemerintahan, yang jadi bagian imperium Aceh. Untuk menjaga eksistensinya, Goncah yang juga keturunan dari India menikahi adik Raja Sunggal.

  Jejak pendekar perempuan Betawi dan muasal penamaan kawasan Poris Plawad

“Perkawinan itu membuat keturunan Melayu Deli yang khas paduan antara India dan Karo,” paparnya.

Ketika putra Goncah, Tuanku Panglima Perunggit berkuasa, Kesultanan Deli baru melepaskan diri dari Aceh. Panglima Perunggit lalu digantikan anaknya, Panglima Paderap yang pada dirinya berkuasa, Kesultanan Deli pecah jadi dua, Deli dan Serdang.

2. Negeri makmur

Ilustrasi kebun tembakau (Bulindo/Flickr)

Kemakmuran Deli yang menggantungkan pada perdagangan hasil hutan baru meningkat pesat saat pemerintahan Sultan Deli VIII, Sultan Mahmud Al Rasyid. Dirinya membuka perkebunan tembakau bekerja sama dengan Jacobus Nienhuys pada 1862.

Untuk pertama kalinya, kontrak tanah diberikan Sultan kepada Deli Maatshapij, perusahaan bentukan Nienhuys di daerah Mabar sampai Deli Tua. Kontraknya dikenal dengan nama Mabar Deli Tua, yang lahannya dikuasai PT Perkebunan Nusantara II.

Pada masa keemasan, Sultan Deli IX, Sultan Ma’Moen Al Rasyid (1873-1924) dan Sultan Amaluddin Al Sani (1924-1945) yang menikmatinya. Mereka bisa membangun istana baru, Istana Maimoon dan hidup dalam kemewahan.

Pada tahun 1937, Sultan Deli mendapat bagian 3.50 gulden per hektare per tahun lahan yang disewakan ke perkebunan. Sebelumnya, pada 1928, Sultan Deli justru sudah menerima 184.588 gulden hanya dari sewa tanah.

  Tradisi Karapan Sapi, simbol kebanggaan masyarakat Madura

“Bahkan Sultan Deli juga mendapat tambahan 85.000 gulden dari para pengusaha kebun untuk biaya perjalanan pesiar mereka,” jelas Aufrida Wismi Warastri dalam Tanah Air: Negeri Makmur yang Pernah Bergolak terbitan Litbang Kompas.

3. Keberkahan yang hilang

Ilustrasi kebun tembakau (Sheryl Long/Flickr)

Anthony Reid dalam Perjuangan Rakyat, Revolusi dan Hancurnya Kerajaan di Sumatra menyatakan sultan-sultan Melayu di Sumatra Timur, yakni Sultan Deli, Langkat, dan Serdang memiliki pendapatan melebihi raja dan sultan di Hindia Belanda dan Malaya.

Demikian juga Kesultanan Deli yang wilayahnya tersebar di Sunggal, Sukapiring, Sinembah, dan Hamparan Perak. Adapun pertanian rakyat cuma mampu mengandalkan tanah jaluran atau tanah yang menunggu masa tanam tembakau tiba.

Meskipun demikian, masyarakat Melayu merasa mendapat berkah dari perkebunan karena merasakan bantuan kemakmuran dari sultannya. Padahal jumlah warga Melayu pada tahun 1930 hanya 61.000-an orang atau 14,3 persen di Kesultanan Deli dan Serdang.

“Waktu itu, masyarakat Melayu sampai tak boleh bekerja kasar. Kami juga tak boleh merantau karena di tanah sendiri saja sudah makmur,” tutur Tengku Pangeran Bendahara Kesultanan Deli, Tengku Fauziddin A Delikhan.

  Keajaiban tembakau deli pendongkrak pamor Kota Medan

Tetapi Fauziddin mengakui bahwa hal itu membuat masyarakat Melayu manja dan tak ulet, seperti masyarakat Melayu di Siak yang tingkat kemakmurannya justru lebih rendah. Tak ayal, pembukaan lahan yang sarat kepentingan modal membuat kesenjangan sosial.

Upah buruh hanya 30 sen sehari pada periode 1935-1937. Padahal, gaji bangsa kulit putih yang jumlahnya 11.000 orang cukup besar sehingga mereka hidup dalam kesombongan, kemewahan, kesenangan seraya memupuk kekayaan.

“Pertentangan panjang bangsa kulit putih dan warga pendatang lain, khususnya kaum buruh, muncul. Pemberontakan kuli akhirnya pecah.” papar Reid.

Akhirnya revolusi sosial pecah pada Maret 1946. Gerakan pemuda yang tergabung dalam Persatuan Perjuangan buatan Tan Malaka bergerak. Kesultanan dijarah dan dibumihanguskan, bangsawan hingga sultan dibunuh.

Alasan revolusi itu adalah simpati pada raja pada Belanda dan ancaman pada kemerdekaan, selain juga ingin menjarah harta kekayaan sultan. Lewat para menterinya, pemerintah berjanji korban dari revolusi sosial akan dikembalikan kehormatannya.

Tetapi hingga kini belum terealisasi, walau kini kasultanan masih mempertahankan strukturnya. Tetapi bila pada masa lalu dihidupi dari hasil perkebunan, kini hidup dari kantong pribadi kerabatnya dan penjualan tiket.

Artikel Terkait

Terbaru

Humanis

Lingkungan

Berdaya

Jelajah

Naradata