Empon-empon merupakan minuman herbal yang menghangatkan dan dianggap cocok diminum pada masa pandemi seperti sekarang. Campuran dua jenis empon-empon, yakni jahe dan kunyit ditambah lemon dapat menjadi minuman sehat yang meningkatkan kekebalan tubuh.
Hal yang unik adalah empon-empon ternyata minuman khas dari leluhur. Minuman ini telah tercatat dalam naskah kuno yaitu Serat Centhini dan menjadi salah satu khasanah kuliner Indonesia. Dengan beragam khasiat ini, empon-empon menjadi minuman yang paling dicari ketika pandemi.
Lalu bagaimana leluhur Nusantara mencatat tentang empon-empon? Dan apa saja khasiatnya yang membuat minuman ini laris? Berikut uraiannya:
1. Empon-empon dalam catatan leluhur

Kearifan lokal para leluhur atau orang-orang tua pada zaman dahulu telah mengajarkan dan mempraktekkan tentang bagaimana memelihara kesehatan warga dan lingkungan. Salah satunya tentang minuman empon-empon yang terkandung dalam naskah Serat Centhini (1814-1823).
Naskah ini salah satu khasanah kebudayaan daerah Jawa yang menyimpan banyak kearifan lokal, khususnya pengetahuan mengenai dokumen pengobatan tradisional atau etnomedisin serta penjagaan kesehatan. Salah satunya kisah perjalanan Jayengsari dan Niken Rancangkapti saat menuju kaki Pegunungan Tengger.
Di Desa Tosari, mereka bertemu dengan tetua (kamisepuh) desa, Ki Buyut Sudurga, dan mereka diberi aneka hidangan lokal yang sarat gizi seperti, minuman hangat, jenang, jagung, wajik yang keras, makanan dari jail ketan jepen, makanan dari sorgum, jagung pari, canthel, ceriping talas, ceriping ketela, kentang, kacang uwi, gembili dan minuman temulawak yang dicampur gula siwalan.
Empon-empon juga masuk dalam catatan perjalanan itu. Diceritakan, minuman ini adalah rimpang yan digunakan sebagai ramuan tradisional seperti jahe, kunyit, temulawak, dan sebagainya. Dalam pengolahannya, empon-empon atau akar tanaman ini sering dipadukan dengan bahan lain.
Racikan dari tanaman ini bisa menghasilkan ramuan kesehatan. Pengolahan dan hasil inilah yang dikenal sebagai jamu atau jejamuaan. Serat Centhini bisa dikatakan merupakan dokumentasi pengetahuan jamu tradisional yang pernah lestari di Jawa pada masa silam, seperti yang tertulis pada jilid VII Tembang megatruh Kaca 163.
“Kapulaga cabe merica kemukus, jungrahab mungsi biji sesawi, tanaman klabet srigunggu, pohon randu berkulit kuning, untuk melengkapi empon-empon.”
2. Apa itu empon-empon?

Empon-empon memiliki nama dasar empu yang merupakan istilah untuk bagian tanaman yang kaya akan senyawa. Karena itu empon-empon bukan nama individu melainkan kelompok tanaman yang bisa membentuk simpanan senyawa.
Empu berasal dari bahasa jawa yang memiliki arti seseorang yang kaya akan ilmu pengetahuan. Nama ini dalam bahasa Indonesia memiliki arti yang berbeda yakni rimpang, bahasa lainnya rizoma.
Sebagian sari empon-empon ada yang digunakan sebagai bumbu dan sebagai rempah. Empon-empon bisa terdapat jahe, kunyit, lengkuas, temulawak, temu kunci. Tanaman tersebut memiliki khasiat untuk mengusir segala penyakit.
“Empon-empon itu sekumpulan atau kasarnya ketegori lah dari djampi oesodo (jamur) akar tanaman yang menjadi rempah dan berperan penting dalam perawatan kesehatan,” jelas Wira Hardiyansyah, seorang travelling chef, dalam Kompas.
Disebutkan dalam buku Temu-temuan dan Empon-empon, Budidaya dan Manfaatnya, nenek moyang kita memanfaatkan tanaman ini untuk pengobatan tradisional dan bumbu masakan. Namun kini penggunaannya meluas ke industri makanan, minuman, perawatan tubuh, dan kosmetika untuk perawatan kecantikan.
3. Populer saat pandemi

Pandemi corona juga menjadikan jamu tradisional naik daun dan banyak dicari masyarakat. Penjual jamu, Triana Rosmiati dari Dapur Kenari, Singaraja mengatakan sudah mendapat tambahan pesanan. Biasanya sebelum pandemi dirinya hanya menjual 30 an botol dalam waktu seminggu, sekarang bisa mencapai 100 botol.
Jamu yang biasa dibuat oleh Triana adalah jamu kunyit asam dan jamu kunyit asam sirih. Dapur Kenari miliknya juga menyiapkan jamu lain bila ada permintaan. Peningkatan pesanan jamu nyatanya diikuti kenaikan harga empon-empon di pasaran.
“Yang kelihatan naik baget itu jahe, kayu manis, dan cengkih. Jahe yang biasanya Rp40 ribu per kilogram, sekarang Rp60-70 ribu. Kunyit masih terjangkau,” jelasnya yang disadur dari Mongabay Indonesia.
Tingginya permintaan empon-empon membuat para pedagang kewalahan melayani pembeli yang datang silih berganti. Seperti yang dialami Ia (38), pedagang empon-empon di Pasar Jatinegara, Jakarta Timur. Dia bersama sang suami sibuk melayani pengunjung yang membeli empon-empon dan jamu lainnya pada pagi, siang, dan malam.
“Waktu itu ramai sekali saya sampai tidak duduk melayani pelanggan yang datang,” jelasnya pada Kompas.