Pemerintah Hindia Belanda pernah menginisiasi Solo Valley Werken, proyek ini menjadi pengendali banjir dan pembuatan jaringan irigasi termahal pasca perang Jawa, tetapi upaya mulia ini sayangnya gagal.
Munculnya proyek tersebut setelah adanya kebijakan politik etis atau politik erschuld (balas budi) kepada negara jajahan yang disampaikan Ratu Wilhelmina, dalam pidato pembukaan di parlemen Belanda.
Lalu bagaimana awal mula proyek tersebut? Dan mengapa mega proyek tersebut gagal? Berikut uraiannya:
1. Proyek pengendali banjir

Pada akhir abad ke 19, Pemerintah Hindia Belanda menginisiasi proyek Solo Valley Werken yang merupakan program pengendalian banjir dan pembuatan jaringan irigasi yang membentang dari Bojonegoro, Tuban, Lamongan, Gresik, dan Surabaya.
Sesuai data di Dinas Pekerjaan Umum (DPU) Bojonegoro, tanah Solo Valley yang melewati empat kabupaten tersebut mempunyai luas total mencapai 160.000 hektare. Kini tanah milik negara itu sebagian dikelola masyarakat untuk pertanian, perkebunan, dan perikanan darat.
Mudji Hartono dalam Realisasi Politik Etis di Bojonegoro Pada Awal Abad XX Kajian Sosial Ekonomi (2014) menyebutkan tujuan utama dari proyek raksasa itu adalah menghentikan timbunan pasir wegast.
“Mengubah jalan laut kecil agar dapat dilalui perahu-perahu ke Pelabuhan Surabaya,” ujarnya.
Disebutkan Mudji, munculnya proyek tersebut setelah adanya kebijakan politik etis atau politik ereschuld (balas budi) kepada negara jajahan, yang disampaikan Ratu Wilhelmina dalam pidato pembukaan di parlemen Belanda.
Dirinya mengatakan Pemerintah Kolonial Belanda di penghujung era Sistem Liberal memiliki tugas moral yang bertujuan memperbaiki ekonomi masyarakat kolonial. Solo Valley Werken pun dianggap bukti keseriusan Pemerintah Belanda.
“Perbaikan sistem irigasi di Bojonegoro merupakan suatu bagian dari pelaksanaan kebijakan kesejahteraan. Pembangunan infrastruktur irigasi dan perbaikan sistem irigasi teknik di Bojonegoro jumlahnya cukup banyak dan biayanya pun sangat besar,” bebernya.
2. Proyek membengkak

Mudji mengatakan pembangunan irigasi Solo Valley Werken tidak berdiri sendiri melainkan terintegrasi dengan pembuatan infrastruktur irigasi yang lain. Di antaranya, pembangunan waduk, dam , dan kanal.
Pembangunan infrastruktur ini dimulai pada 1905. Sejumlah waduk yang telah dibangun di antaranya Waduk Tlogo Haji, Waduk Koedoer, Waduk Pengantin, Balong Soembak, Pirang, Plesoengan, Pacak. dan Waduk Kerjo.
Jumlah bangunan infrastruktur irigasi, seperti waduk, dam dan kanal ada sekitar 17 buah lebih. Jumlah ini menunjukan bahwa perbaikan sistem irigasi teknik lebih banyak jumlahnya daripada daerah lain di wilayah Karesidenan Rembang.
Dalam catatan Mudji, proyek tersebut konon jadi proyek termahal Pemerintah Belanda, pasca-perang Jawa. Pemerintah kolonial semula menganggarkan dana sebesar 19 miliar gulden, tetapi kemudian membengkak menjadi 38 miliar gulden.
Pembengkakan biaya ini karena proyek tersebut bertambah dengan pembangunan kanal-kanal irigasi di daerah-daerah yang ada di lembah Sungai Bengawan Solo. Khususnya di Bojonegoro.
“Kanal itu hanya dapat mengairi sawah-sawah petani di Surabaya bagian utara,” tulis Mudji.
Selain biayanya yang membengkak menjadi dua kali lipat. Waktu pengerjaannya pun bertambah lama, tidak seperti perkiraan semula yakni sekitar 7-8 tahun, namun lebih lama lagi hingga akhirnya berhenti.
3. Tidak difungsikan

Mengutip dari artikel Aw. Syaiful Huda, peneliti Poverty Resource Center Initiative (PRCI) yang diwartakan Solopos, jaringan irigasi Solo Valley sudah dirancang saling terintegrasi antara jaringan irigasi satu dengan lainnya.
Seperti halnya Waduk Pacal yang sudah diintegrasikan dengan kanal Solo Valley ataupun jaringan lainnya. Tetapi Syaiful menyayangkan pasca kemerdekaan Indonesia, kanal tersebut tidak difungsikan semestinya, bahkan tidak terurus.
Padahal menurutnya bila dilanjutkan dan difungsikan secara maksimal, bencana banjir bisa diminimalisir. Wilayah selatan yang sering mengalami krisis air, terlebih saat musim kemarau, juga akan bisa tercukupi kebutuhan suplai airnya.
“Bahkan saya membayangkan, seandainya jaringan irigasi Solo Valley dikembangkan dengan baik, dia bisa jadi aset wisata alam dan wisata sejarah. Bojonegoro bisa seperti kota-kota di dunia yang memiliki sungai-sungai indah yang membelah, berada di tengah-tengah kota (kabupaten),” tulisnya.
Dirinya kemudian menjabarkan bagaimana bila Solo Valley benar-benar dikerjakan kala itu. Di mana sungai dikelola dengan baik, airnya jernih dengan kanan-kiri rerimbunan pohon dan bebatuan yang indah.
Syaiful yakin Bojonegoro akan bagaikan Kota Giethoorn dan Amsterdam (Belanda) dan Stockholm (Swedia), atau seperti kanal Rideau di Ottawa (Kanada). Solo Valley pun bisa jadi magnet pemicu pertumbuhan ekonomi daerah.
“Namun disayangkan sekali, lagi-lagi ibarat kata, ia layu sebelum berkembang,” tulisnya.