Jukung, perahu tua dan urat nadi masyarakat Banjar yang terdesak zaman

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp
Jukung (gus aik/flickr)

Air dan jukung sejak dulu telah menjadi bagian hidup masyarakat Banjar di kawasan tenggara Kalimantan. Mengingat daerah itu dibelah sungai dan rawa, jukung menjadi alat transportasi sekaligus wahana jual beli hasil bumi dan bahan pokok.

Ada sebuah pameo yang menyebut bahwa tak ada jukung, maka tak ada orang Banjar. Namun kini jukung-jukung telah terdesak zaman. Nasib jukung sudah tak sebagus tahun 1970-an dan 1980-an.

Lalu bagaimana kisah jukung bagi orang Banjar? Dan mengapa transportasi laut ini mulai hilang? Berikut uraiannya:

1. Banjar dan jukung

Jukung (Dani Stein/Flickr)

Munawarah (50) tiba sebelum matahari bersinar terik dengan jukung yang mengangkut sejumlah hasil bumi untuk diperdagangkan di pasar dadakan. Perempuan paruh baya itu mencari tempat parkir yang luang di pinggir sungai kecil di sela-sela rumah warga.

Air dan jukung sejak dulu telah menjadi bagian hidup masyarakat Banjar di kawasan tenggara Kalimantan. Mengingat daerah itu dibelah sungai dan rawa, jukung menjadi alat transportasi sekaligus wahana jual beli hasil bumi dan bahan pokok.

“Uniknya dalam urusan perdagangan bahan pokok sehari-hari, jukung biasa digunakan oleh laki-laki dan perempuan,” tulis Defri Werdiono dalam Tanah Air: Jukung, Urat Nadi Orang Banjar terbitan Litbang Kompas.

Hampir tiap jukung memuat pisang, kecapi, rambutan, daun katuk, dan nanas. Buah dan sayuran itu dibeli di pasar lama sebelum dijual lagi ke daerah permukaan. Sejak berjualan belasan tahun silam, Munawarah hanya ditemani jukung kesayangannya.

  Saluran air kuno abad 18 ditemukan dalam proyek MRT Glodok-Kota

“Keluarga kami hanya punya jukung, ke mana-mana, ya pakai jukung. Kalau ada keperluan lain di darat bisa naik taksi (angkutan perkotaan) atau becak,” ujarnya.

Munawarah sudah terlatih mengemudikan jukung sejak kanak-kanak. Yang dibutuhkan hanya tenaga, mengingat perahu kecil dengan panjang kurang dari 5 meter itu tidak memiliki mesin sehingga dayung berfungsi sebagai penggerak sekaligus kemudi.

2. Jukung dari zaman kolonial

Jukung (gus aik/Flickr)

Istilah jukung sendiri merujuk pada sampan kecil, tak bermesin, dan memerlukan dayung atau galah agar bisa melaju di air. Namun, menurut kalangan akademis, istilah jukung dipakai untuk menyebut semua jenis perahu.

Erik Petersen, arsitek asal Denmark yang meneliti jukung dalam bukunya Jukung-Boats, From the Barito Basin, Borneo menyebut jukung sudur merupakan prototipe dari semua jukung yang ada saat ini.

Jukung ini merupakan perahu tertua dan telah ada sejak 2.500 tahun silam. Jukung paling sederhana itu dibuat dari batang kayu utuh yang dibelah menjadi dua dan dikerok menggunakan perkakas dari batu.

“Salah satu bukti yang mendukung anggapan ini adalah ditemukannya peti mati dari kayu yang bentuknya mirip jukung sudur di Goa Niah, Sarawak, Malaysia,” paparnya.

Dosen sejarah pada Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin, Hariyadi mengatakan keberadaan jukung tak bisa dilepaskan dari masyarakat Banjar. Kondisi wilayah membuat masyarakat menciptakan sebuah alat yang bisa menjembatani keperluan sehari-hari.

  Ketika Suku Laut tidak bisa lagi melaut, mengapa?

Hariyadi menyebutkan ada beberapa catatan tentang jukung yang tidak hanya dipakai di dalam Pulau Kalimantan. Pada abad ke 15 dan ke 16, pedagang dari Banjar ada yang menjelajah sampai ke Suriname dan Madagaskar.

“Banyak persamaan antara kelotok di Madagaskar dan Banjar,” paparnya.

Selain itu, pada zaman kolonial, jukung banyak dipakai sebagai alat perjuangan melawan penjajah. Salah satu pertempuran sengit terjadi di Muara Teweh, Kabupaten Barito Utara, Kalimantan Tengah.

3. Terdesak zaman

Jukung (gus aik/flickr)

Tetapi pada masa kini, jukung harus bersaing dengan kendaraan di darat. Jukung memang masih menjadi andalan masyarakat untuk menerobos wilayah-wilayah yang tidak bisa dijangkau sepeda motor dan mobil, seperti ke perkebunan atau mencari ikan.

Idrus (29) menyatakan di tempatnya bekerja biasanya mampu menyelesaikan dua jukung dalam sebulan. Konsumen bebas memilih model sesuai keinginan. Karena itu menurutnya, pemesanan atau pembelian jukung dalam beberapa tahun terakhir cenderung stabil.

Namun tidak semua pembuat jukung di Pulau Sewangi sependapat. Mereka menilai jukung mulai tergerus zaman. Nasib jukung sudah tak sekaligus tahun 1970-an dan 1980-an. Banyak masyarakat telah beralih pada kendaraan darat seperti sepeda motor dan mobil.

Muhammad (40), pembuat jukung lain, menuturkan dulu pesanan datang hampir setiap waktu. Sekarang dalam waktu satu bulan belum tentu ada pesanan. Bahkan, dirinya menyebut terkadang sampai tiga bulan baru ada konsumen datang.

  Madagaskar, pulau tertua di dunia dengan kekayaan alam yang mengagumkan

Pengaruh berkurangnya pesanan terlihat dari jumlah usaha pembuatan jukung yang masih bertahan. Jika dahulu terdapat lebih dari 100 lokasi pembuatan jukung di Pulau Sewangi, pada tahun 2013 jumlahnya tinggal sekitar 50 buah.

Para pengrajin mengakui berkurangnya permintaan jukung tak lepas dari kondisi bahan bakar kayu yang makin berkurang. Saman (40) pembuat jukung lainnya, menuturkan harga papan untuk rumbing terus naik.

“Harusnya untuk industri kecil diberi kemudahan agar bisa bertahan. Bukan malah dipersulit. Sementara kami semua membeli yang artinya legal,” ucap Saman.

Dirinya pun berharap pemerintah bisa memberikan bantuan agar jukung bisa bertahan. Caranya melalui pameran maupun memberikan bantuan modal usaha dengan bunga rendah yang dituturkan pengrajin belum pernah ada.

Hariyadi membenarkan jukung dan alat transportasi air lainnya kian terpojok persaingan. Mereka terdesak makin ke dalam dan bertahan di tempat tertentu yang tidak bisa ditembus kendaraan darat, seperti ke sawah untuk mengangkut padi dan mencari ikan.

“Dewasa ini jukung memang terdesak. Dibangunnya jalan darat dan bertambahnya kendaraan roda dua maupun roda empat menjadi faktor utama. Harga motor atau mobil yang lebih mahal tidak menjadi penghalang karena mereka lebih efektif untuk mencapai tempat jauh dibanding menggunakan perahu,” ujarnya.

Artikel Terkait

Terbaru

Humanis

Lingkungan

Berdaya

Jelajah

Naradata