Keindahan Priangan dalam kenangan Franz Wilhelm Junghuhn

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp
Franz Wilhelm Junghuhn (Wikipedia)

Franz Wilhelm Junghuhn (1809-1864) merupakan figur ilmuwan Belanda kelahiran Jerman yang selama 13 tahun tinggal dan bekerja di Hindia Belanda, mula-mula dirinya di Sumatra kemudian di Jawa.

Di Jawa, dia mengadakan penyelidikan keilmuan mengenal morfologi bentang alam, hingga menghasilkan banyak tulisan dan citraan visual mengenai bentang alam tersebut. Priangan merupakan bagian dari area penelitian Junghuhn.

Lalu bagaimana Junghuhn menjelajah alam Priangan? Dan bagaimana juga makna Priangan bagi seorang Junghuhn? Berikut uraiannya:

1. Junghuhn di Priangan

Franz Wilhelm Junghuhn (Wikipedia)

Franz Wilhelm Junghuhn (1809-1864) merupakan figur ilmuwan Belanda kelahiran Jerman yang selama 13 tahun tinggal dan bekerja di Hindia Belanda, mula-mula dirinya di Sumatra kemudian di Jawa.

Di Jawa, dia mengadakan penyelidikan keilmuan mengenal morfologi bentang alam, hingga menghasilkan banyak tulisan dan citraan visual mengenai bentang alam tersebut. Priangan merupakan bagian dari area penelitian Junghuhn.

Wilayah Priangan adalah tempat Junghuhn memulai perjalanan dalam penyelidikan kebumian di Jawa, yang dilakukannya pada 1844. Dia berangkat dari wilayah Bogor, di sekitar Megamendung, menuju wilayah Cianjur hingga ke timur menjelajahi Pulau Jawa.

Dalam bukunya yang berjudul Java, Zijne Gedaante, Zijn Plantentooi en Inwendige Bouw, Vol.1, Junghuhn mencatat Jawa terdiri dari tiga bagian yakni barat, tengah, dan timur. Dirinya juga mendata 559 wilayah kabupaten dan tanah partikelir di Jawa.

  Jejak Mbah Loreng, dan bentuk penghormatan orang Jawa pada harimau

Keresidenan Priangan sendiri terdiri atas lima kabupaten yaitu Cianjur, Bandung, Sumedang, Sukapura (Tasikmalaya), Limbangan (Garut). Masing-masing kabupaten terdiri atas sejumlah distrik.

Junghuhn juga mendata gunung-gunung di Priangan, misalnya di wilayah paling barat terdapat Gunung Gede sedangkan di wilayah timur terdapat Gunung Ciremai, di wilayah utara Gunung Takuban Perahu, sedangkan di wilayah selatan Gunung Papandayan.

2. Perjalanan Junghuhn ke gunung

Gunung Gede (Wikipedia)

Junghuhn mengadakan perjalanan ke pegunungan dengan berjalan kaki, ditemani oleh sejumlah kuli. Ada kalanya, jika melewati jalan besar, dia bersama rombongan memanfaatkan kereta kuda.

Ada kalanya juga, seperti ketika dia mengunjungi Jawa Tengah, dia menumpang kereta api. Sedangkan di wilayah Priangan, Junghuhn mendaki Gunung Galunggung serta Gunung Wayang pada 1887 dan Gunung Tangkuban Perahu pada tahun 1884.

Dalam perjalanannya, Junghuhn tidak hanya mencatat gejala alam tetapi juga minatnya yang utama adalah melihat gejala budaya. Contohnya perjalanan dengan kereta kuda merupakan salah satu gejala budaya yang menarik baginya.

“Tiada yang lebih baik menggugah perasaan daripada kereta di Jawa yang ditarik dengan kuda Jawa dan dikendalikan oleh kusir Jawa,” terang Junghuhn.

  Taman Junghuhn: jejak awal penanaman kina di Hindia Belanda yang kini terbengkalai

Di wilayah pegunungan itu, Junghuhn juga menemukan masyarakat tersendiri yang tampaknya dia sangat hargai. Baginya tinggi rendahnya tempat tinggal masyarakat dari permukaan laut menentukan tinggi rendahnya kedudukan masyarakat yang bersangkutan.

“Superioritas manusia, tumbuhan, atau hewan ditentukan oleh elevasi. Masyarakat Tengger yang ulung, tinggal dalam elevasi antara 5.000 dan 7.500 kaki, masyarakat Sunda yang unggul antara 2.000 dan 4.000 kaki, masyarakat Batak di Sumatra yang istimewa antara 4.000 dan 5.000 kaki,” ucapnya.

3. Mengenang Priangan

Gunung Merapi (Wikipedia)

Junghuhn kemudian memilih tinggal di Jayagiri, Lembang sejak 15 Juli 1857. Di tempat kerjanya yang baru, dia memilih sebuah rumah kampung di ketinggian 1.300 meter di bukit yang saat itu masih sunyi.

Jayagiri terletak tidak jauh dari lereng selatan Gunung Tangkuban Perahu yang sangat dicintai oleh Junghuhn. Pada zamannya keadaan di sekeliling tempat itu masih berupa hutan yang hijau, rimbun, serta tinggi di atas Bandung.

“Dengan kata lain, Junghuhn memilih tinggal, tidak di pusat keramaian modern di Kota Bandung, melainkan di tengah belantara, di dekat gunung,” papar H W Setiawan dan Setiawan Sabana dalam Priangan dalam Kehidupan Franz Wilhelm Junghuhn.

Tetapi setelah 13 tahun dirinya bekerja di Jawa, khususnya Priangan, Junghuhn mengalami gangguan kesehatan. Atas saran teman-temannya, dia perlu kembali ke Eropa untuk cuti dan tetirah agar penyakitnya bisa sembuh.

  Berharganya cokelat yang pernah jadi alat pembayaran oleh Suku Maya

Namun selama di Eropa, Junghuhn sepertinya tidak dapat melupakan panggilan gunung-gunung di Pulau Jawa. Di Leiden, Belanda, selagi terus bekerja sambil mengenang gunung-gunung di pelosok Jawa, Junghuhn kemudian menulis.

“Ketika matahari terbit di ufuk timur, menyinari puncak megah gunung di sana dengan cahaya emas dan ungu, dari ketinggian terlihat oleh saya, salah satu saat yang saya kagumi, hasrat saya melonjak dan semangat saya timbul untuk menyambut hari ketika saya akan berseru: sambutlah. oh gunung-gunung!”

Junghun lantas kembali ke Jawa, menemui lagi wilayah pegunungan yang senantiasa menggugah hatinya. Bersama keluarganya, dia tinggal di Jayagiri, Lembang, hingga akhir hayatnya pada April 1864.

Rob Nieuwenhuys dan Fritz Jacquet melukiskan saat-saat penghabisan Junghuhn di Lembang. Saat itu menjelang kematian, kentara sekali Junghuhn meminta saudaranya agar membuka lebar-lebar jendela di ruang kerjanya.

“Dia ingin sekali lagi membiarkan pegunungan yang dicintainya dan pemandangan rimba yang dicintainya, sekali lagi dia ingin menghirup udara gunung yang murni. Kemudian turun gerimis. Dia pun tidur tenang dan tentram.”

Artikel Terkait

Terbaru

Humanis

Lingkungan

Berdaya

Jelajah

Naradata