Masyarakat Jawa akrab dengan legenda tutur Jaka Tarub dan Dewi Nawang Wulan. Beberapa daerah memiliki beragam versi, namun dengan esensi cerita yang sama. Dahulu kisah ini melekat dalam tampilan budaya masyarakat, seperti lukisan, kesenian ketoprak sampai dongeng pengantar tidur.
Kini warga daerah yang berkait dengan kisah Jaka Tarub memuliakan cerita itu untuk merawat desa dan lingkungan sekitarnya. Warga memuliakan makam, pohon, sumber air atau sendang yang dipercaya sebagai tempat Jaka Tarub bertemu dengan para bidadari.
Lalu bagaimana cerita ini sebenarnya? Dan apa yang digunakan warga untuk mempertahankan alamnya? Berikut uraiannya:
1. Kisah Jaka Tarub

Babad Tanah Jawi mengisahkan seorang pemuda bernama Jaka dari desa Tarub yang sedang berburu di hutan. Jaka mengintip para bidadari yang sedang mandi di sendang. Kemudian setelah memandangnya, dirinya terpikat dengan kecantikan para bidadari.
Sambil mengendap-endap, Jaka mencuri busana salah satu bidadari. Ketika para bidadari mengetahui ada lelaki di sendang, mereka segera mengangkasa. Namun, salah satu bidadari yang bernama Dewi Nawang Wulan tak kuasa mengangkasa karena busananya hilang.
Jaka berkata kepadanya, apabila dia bersedia menjadi istrinya, busana itu akan dikembalikan. Sang Dewi akhirnya terpaksa menyetujuinya. Akhirnya Jaka dan Dewi Nawang Wulan menikah dan dari pernikahan ini mereka dikaruniai seorang anak.
2. Melindungi alam

Taruban, toponimi desa yang berkait dengan kisah Jaka Tarub, berlokasi di Sentolo, Kulonprogo, sekitar 23 kilometer di barat laut Yogyakarta. Di tempat ini warga desanya merawat legenda tentang Jaka Tarub dan tujuh bidadari sebagai pesan leluhur.
“Mereka memuliakan pesan itu dalam medium yang bisa diraba,” tulis Mahandis Yoanata Thamrin dalam Kekuatan Legenda Jaka Tarub dalam Keselarasan Semesta di Yogyakarta yang dimuat National Geographic, Senin (20/6/2022).
Mahandis menyebut hal yang pertama adalah merawat makam Jaka Tarub dan Nawang Wulan, kedua adalah melindungi Wit Sambit yang merupakan pohon besar keramat, sementara yang ketiga menjaga sumber air atau sendang Kamulyan berikut dengan upacara bersih desa dan ziarah.
Baginya gabungan tiga hal itu merupakan upaya warga Taruban untuk melestarikan nilai-nilai leluhur atau kearifan yang memuliakan alam. Hasilnya, terpeliharanya pohon-pohon besar dan terjaganya sumber air yang merupakan mata air bagi warga.
“Menurut orang desa Taruban, (Jaka Tarub dan Dewi Nawang Wulan) benar ada dan dianggap leluhur,” kata Ida Fitri Astuti, staf dan peneliti Indonesian Consortium for Religious Studies, di Yogyakarta.
Ida menunjukkan bahwa warga terlibat dalam hubungan dengan situs-situs sakral di desa mereka seperti pohon, makam, dan sendang. Orang-orang desa, jelas Ida mengenali dan memandang pohon sebagai orang atau sosok yang memiliki kemampuan untuk merawat, menerima dan memberi.
Dirinya berpendapat bahwa hubungan antara lingkungan dan penduduk desa, mengikuti persepsi bahwa mereka saling menguntungkan dan harus bertanggung jawab. Sehingga legenda ini menjadikan warga secara personal melindungi kelestarian alamnya.
3. Peduli dengan alam

Iada menyatakan secara perspektif ekologi, warga desa Taruban sangat akrab dengan lingkungannya. Dirinya mengungkapkan bahwa mereka secara aktif terlibat dalam ikatan ganda yang memberikan hak istimewa untuk memanfaatkan dan menghormatinya.
Warga mengenal pohon-pohon besar sebagai sosok yang memiliki keterkaitan, saling mengambil dan memberi. Mereka harus melakukan ritual demi menjaga hubungan harmoni itu. Kendati musim kemarau yang kering, sendang harus tetap terjaga alirannya.
“Pohon, makam dan sendang itu sebagai person atau sebagai orang yang bisa memberikan sesuatu kepada kita,” ujarnya.
Warga menghormati dan memelihara ketiga situs sakral itu dengan rangkaian ritual komunal setiap tahunnya. Salah satunya adalah bersih desa yang digelar setelah panen setiap tahun. Ketika itu warga akan bersama-sama berkumpul merapal doa yang mengiringi sesajen, juga menari tayuban.
Setiap Kamis malam dan malam Tahun Baru Islam, warga juga memuliakan ketiga situs itu dengan merapal doa, menyalakan kemenyan dan mempersembahkan sesaji beragam puspa, yakni kembang telon-mawar, melati, dan kantil.
“Bayangkan apabila tidak ada mitos, tidak ada makam, tidak ada ritual bersih desa? Apakah masih bisa pohon-pohon besar terpelihara, sumber air terjaga?” ujar Ida.