Berakhirnya sebuah kekuasaan adalah bagian dari sunatulloh. Keruntuhan sebuah peradaban besar selalu menimbulkan pertanyaan yang mengganggu bagi kaum intelektual secara umum.
Al-Qur’an memiliki sebuah ungkapan yang menarik tentang lahir, tumbuh, dan runtuhhnya bangsa-bangsa, yaitu: wa tilka al ayyaamu nudaawiluhaa bainannas (3:140).
Kejayaan sejarah itu dipergilirkan oleh Tuhan di antara bangsa-bangsa, mengikuti sebuah hukum yang berlaku obyektif bagi bangsa manapun, termasuk suku Sunda. Ungkapan bahasa Sunda mewakili kondisi hukum tersebut: ’Takdir teu bisa dipungkir, Kadar teu bisa disinglar’.
Pengertian dan penyebab keruntuhan peradaban
Runtuhnya peradaban dapat didefinisikan sebagai hilangnya populasi, identitas, dan kompleksitas sosial-ekonomi, secara cepat dan permanen. Layanan publik hancur, dan kekacauan terjadi ketika pemerintah kehilangan kendali atas monopoli kekerasan.
Keruntuhan tersebut menurut IBN KHALDUN dapat dianalisa dengan teori “ashabiyya” atau solidiraitas sosial. Awalnya sebuah dinasti berdiri karena etos solidaritas sosial dan kekompakan yang solid. Setelah negara makmur dan sejahtera, rakyatnya menjadi lembek karena lebih cenderung menikmati kekayaan material, dan malas.
Setelah kepemimpinan Prabu Siliwangi (1482-1521 M) yang membawa kepada kesejahteraan dan kemuliaan Pakuan Pajajaran. Pakuan Pajajaran mengalami kemunduran setelah beliau wafat. Raja pengganti beliau secara berturut-turut adalah sebagai berikut:
Prabu Surawisesa (1521-1535 M).
Pada masa pemerintahannya, daerah-daerah bawahaan mulai berani mengadakan perlawanan. Kondisi ini tentunya dapat menguras kekayaan negara.
Sri Ratu Dewata Buana (1535-1543 M)
Raja kurang peduli pada kehidupan politik dan keadaan balatentara, sehingga kesetiaan rakyat berkurang. Pemerintahannya hanya fokus pada masalah keagamaan semata. Urusan pemerintahan ia diserahkan kepada para pembantunya yang ternyata kurang mampu dalam melaksanakan tugasnya.
Akibatnya kerajaan semakin memburuk, baik perekonomian maupun kesejahteraan rakyat, serta tingginya gangguan keamanan, tetapi ia tetap saja pada perilakunya sebagai ‘raja resi’ yang hanya berpuasaa dan meminum susu.
Sri Ratu Sakti Mangabatan (1543-1551 M)
Raja yang mencoba memperbaiki keadaan negara dengan bersikap keras yang menjurus pada kejam dan lalim. Akibat perbuatannya, Ratu Sakti diturunkan dari tahta dan kedudukannya digantikan oleh putera mahkota Nilakendra.
Prabu Nilakendra (1551-1567 M)
Saat menjadi raja, situasi negara telah kacau balau, dan penderitaan rakyat telah mencapai puncaknya dengan sulitnya kehidupan, ditandai oleh adanya kelaparan yang melanda hampir di seluruh wilayah Sunda. Setiap saat, Keraton Pajajaran dimeriahkan oleh pesta pora. Makan enak, sambil mabuk.
Setelah digantikan oleh Prabu Ragamulya Suryakancana, Prabu Nilakendra bersama permaisuri, para selir dan pasukan pengawalan mengasingkan diri ke Puraseda.
Prabu Ragamulya Suryakancana (1567 – 1579 M)
Setelah menjadi penguasa Sunda, Prabu Ragamulya menyadari bahwa tugas yang diamanahinya sangat berat, karena kondisi kerajaan Sunda sudah berada diambang kehancuran, namun sesuai sumpahnya di depan Purohito Keraton, ia harus tetap mempertahankan kerajaan dengan segala kemampuannya.
Waktu keruntuhan Pakuan Pajajaran

Pada saat etos solidiritas ini telah merosot–tepatnya pada hari sabtu, tanggal 8 Mei tahun 1579 Masehi, Pakuan Pajajaran mendapat serangan dari Kesultanan Banten yang dipimpin Panembahan Maulana Yusuf. Kesultanan Banten berhasil menguasai daerah pendalaman dan pusat pemerintahaan kerajaan Pakuan Padjadjaran di Bogor.
“Pajajaran sirna ing ekadaca cuklapaksa wesha kamasa sewu limangatas punjul siki ikang cakakala”
Sekitar 800 anggota Kerajaan Sunda Pajajaran mengundurkan diri ke lereng Gunung Cibodas, Gunung Palasari, Jayanga (sekarang Jasinga), sekitar Bayah, dan bahkan ke daerah pertapaan Sanghyang Sirah dan Borosngora di Ujung Kulon, serta ke Lemah Parahyangan (sekarang di kawasan masyarakat).
Komunitas ini yang sekarang tersebar dan masih memegang teguh adat tradisi leluhurnya disebut kelompok sosial Kasepuhan Adat Banten Kidul.
Panembahan Maulana Yusuf setelah beberapa waktu tinggal di Pakuan, kembali ke Banten membawa ‘WATU GILANG’ atau ‘PALANGKA BATU SRIMAN SRIWACANA’ yang merupakan batu tempat penobatan raja ke ibu kota Surosowan.
Sebelum kepulangannya, ia menyatakan bahwa daerah Purasaba Pakuan sebagai daerah larangan (Ambogori). Untuk mengawasi bekas Purasaba Pakuan Pajajaran, penguasa Banten itu mempertahankan penempatan pasukan Banten di Muaraberes (sekarang dekat Sukahati, Cibinong) dan Tanjung Barat (sekarang dekat Pasar Minggu, Jakarta Selatan).
Beberapa bulan setelah penyerbuan ke Pakuan, Panembahan Yusuf menderita sakit berkepanjangan sampai wafatnya pada tahun 1580.
Namun hingga saat ini, belum ditemukannya sumber sejarah yang menjelaskan situasi kondisi Kota Bogor sebagai ibu kota dan juga informasi Kerajaan Pakuan Pajajaran setelah diserang oleh Banten. Hal itu membuat kita kehilangan jejak sejarah yang sangat penting.
Satu-satunya sumber–walaupun samar-samar–yang bisa kita gali adalah sedikit informasi dari Pantun Bogor yang disusun oleh Ki Buyut Baju Rambeng.

(Bersambung)