Ibu kota Pakuan Pajajaran adalah tempat yang sangat strategis untuk dijadikan sebuah kota, karena terletak di antara dua aliran sungai, yakni Ciliwung dan Cisadane. Kedua sungai ini hulunya berasal dari daerah TNGP (Taman Nasional Gede Pangrango) dan ditambah dengan anak-anak sungai dari wilayah TNGHS (Taman Nasional Gunung Halimun Salak).
Sungai ini menjadi benteng alam yang sangat kokoh disertai apitan benteng lama lainnya berupa tiga gunung besar, yaitu Gede, Pangrango–di sebelah timur, dan Gunung Salak di sebelah barat..
Kondisi bekas ibu kota
Para pembaca yang budiman, kini kita akan sedikit menggambarkan kondisi bekas ibu kota Kerajaan Pakuan Pajajaran di Bogor. Ternyata situasi dan kondisinya kembali seperti semula menjadi hutan belantara. Semula kota yang begitu ramai dihuni ribuan manusia kembali menjadi sepi, sunyi dan senyap, bahkan “menakutkan”.
Ternyata, pasukan-pasukan dari Kesultanan Banten banyak yang tinggal di bekas ibu kota tersebut dengan mendirikan kampung-kampung. Pada awalnya kampung-kampung tersebut ramai dengan banyak penghuni. Namun seiring dengan perjalanana waktu kampung-kampung tersebut perlahan-lahan ditinggalkan oleh penghuninya, sehingga sepi bahkan kosong.
Julukan suatu kampung yang mengalami kemunduran biasa disebut dengan Narik Kolot. Banyak sekali sekarang nama-nama kampung di tatar Sunda dengan nama Narik Kolot atau Tari Kolot.
Kampung-kampung yang didirikan baru yang disebut dengan nama Babakan menjadi ditumbuhi tanaman ilalang, pandan dan paku andam. Kondisi ini bukan karena tanahnya tidak subur, dan bukan juga karena tidak kerasan, tetapi karena sesuatu yang telah diperbuat oleh mereka.
Bentuknya berupa setiap kali mereka menanam padi baik di sawah maupun di huma, selalu tidak tersisa. Kadang dirusak hama dan babi hutan. Kadang juga terjadi konflik diantara mereka sendiri. Belum lagi munculnya berbagai wabah penyakit.
Kondisi tersebut membuat mereka pulang kampung, kembali daerah asalnya–Banten, dan wilayah-wilayah timur lainnya. Kampung-kampung yang ditinggalkan itu kemudian menjadi hutan kembali.
Saking berubahnya suasana kondisi bekas ibu kota, dalam hitungan dua windu jalan ketiga, kurang lebih menginjak tahun 1600 Masehi, sudah tidak ada lagi orang yang mengetahui bekas-bekas Keraton Pakuan.
Hanya tempat yang dulunya bernama alun-alun Tanjung Salikur dan Tegal Lega tempat berbakti kepada Guru Bumi masih bisa dikenali, walaupun sudah menjadi lapangan ilalang yang luas sekali.
Lalu bagaimana dengan pribumi Pakuan Pajajaran yang mengungsi bersama Prabu Ragamulya Suryakencana ke daerah selatan? Apakah di antara mereka ada yang kembali ke bekas ibu kota Pakuan Pajajaran.
Rombongan yang kembali ke bekas ibu kota
Atas izin Prabu Ragamulya Suryakencana, ternyata ada rombongan pribumi yang kembali ke bekas ibu kota Pakuan Pajajaran.
Kata Prabu Ragamulya, ”Dia nu marisah ka belah kaler, darengekeun, dayeuh ku dia moal kasampak wujudna. Ukur tegal baladahan” (kamu semua yang memisahkan diri ke sebelah utara, dengarkanlah kota tidak akan terlihat lagi wujudnya olehmu. Hanya tinggal padang yang perlu diolah).
Siapa saja rombongan yang kembali ke bekas ibu kota?
Sama dengan rombongan yang memisahkan diri ke sebelah barat, dan timur, yang ke arah utara pun dipimpin oleh tiga kokolot, yakni Ki Murwa Kalih memimpin Kampung Taman (sekarang dekat dengan Kampung Adat Sindang Barang), Ki Ranggah Gading memimpin Kampung Cibeureum (sekarang daerah Bogor Nirwana Resor dan sekitarnya), dan Ki Susul Tunggak memimpin Kampung Kuta Batu (sekarang daerah Kota Batu dan sekitarnya).
Sebagai pemimpin yang paling muda, Ki Mang Parang oleh ketiga kokolot ditunjuk untuk memimpin Kampung Pakancilan (sekarang daerah Lawang Gintung dan sekitarnya).
Mengapa mereka mendirikan di sekitar daerah bekas ibu kota?
Mereka tidak mau berbaur dengan kampung-kampung yang ditempati musuh. Mereka mendirikan kampung-kampung baru yang tidak jauh dari mata air yang bening, yang letaknya cukup jauh dari bekas ibu kota.
Penataan rumah-rumah mereka disesuaikan dengan kondisi kerataan tanahnya..
-
Mendirikan rumah di tanah yang rata
Kalau mendirikan di tempat yang rata atau datar, maka rumah Ketua Kampung harus berada di tengah-tengah perkampungan sebagai pusatnya. Rumah ketua kampung dikelililing oleh rumah-rumah yang lain, dengan rapi dan berjajar.
Hanya saja, dari rumah ketua kampung ke sebelah timur memanjang ke arah barat tidak boleh terhalang oleh rumah yang lain. Lain itu, halaman depan rumah Ketua Kampung selalu disiapkan lahan kosong seperti alun-alun, dengan panjang tiga untaran gantar dan lebarnya dua untaran gantar.
Bagian tengah alun-alun tersebut dibangun rumah Panggung Pangriungan yang tidak berdinding dan terbuka, sebagai tempat menerima tamu dan melakukan musyawarah para tetua kampung.
Semua rumah harus menghadap ke arah timur dan barat mengikuti matahari. Semua halaman harus bersih dari limbah sampah, dan tidak ada kamar mandi atau toilet. Di depan rumah disiapkan kolam kecil untuk membersihkan kaki sebelum masuk ke rumah.
Di sebelah hilir rumah-rumah tersebut, dibangun kandang-kandang ternak seperti kerbau, serta didirikan pula saung untuk kegiatan ngawuluku serta berbagai peralatan pertanian (pamakayaan). Lalu yang terpenting, di sebelah timur kampung harus dibangun jajaran leuit/lumbung.
-
Mendirikan rumah di tempat yang tinggi (pasir)
Kalau kampung didirikan di tempat yang tinggi (pasir), rumah ketua kampung berada di bagian paling atas dan disusul oleh di bawahnya oleh rumah yang pemiliknya paling tua. Rumah-rumah yang pemiliknya muda, terletak di sebelah atau di bekakangnya.
-
Mendirikan rumah di tempat yang tinggi dan miring (lamping)
Kalau tanahnya berada pada lokasi tebing (lamping), maka senantiasa harus mengikuti alur sumber air dengan jarak agak jauh. Hal ini untuk menghindari bencana tanah longsor. Untuk menjaga kebersihan air, maka tidak boleh ada kampung yang berdiri di atas mata air.
Kondisi pada tahun sekitar 1609 Masehi

Kampung-kampung yang didirikan di bekas ibu kota Pajajran oleh tilu kokolot, semakin tahun semakin ramai, dan semakin bertambah pula penduduk dan rumah. Luas wilayahnya pun semakin melebar. Kemudian di sekitarnya berdiri pula kampung-kampung baru, seperti Pasir Gadog, Karacak, Kihara Lawang, dan Setu.
Dugaan penulis, nama kampung Pasir Gadog menunjuk sebuah daerah Gadog, di sekitar pertemuan Sungai Ciliwung dan Ciesek arah ke puncak.
Daerah Karacak berada di daerah Leuwiliang arah ke perkebunan teh Cianten. Sementara untuk Kihara Lawang, penulis sampai saat ini belum menemukan lokasinya.
Ada pun di sebelah hilir juga muncul lagi kampung-kampung panamping (tempat hukuman yang melanggar adat) seperti Pageur Beusi dan Cilebud.
Walahu a’alam!
(Bersambung)