Kampung Palabuhan Ratu ternyata lebih dahulu berdiri (:ngadeg) ketimbang dengan berdirinya Kota dan Kabupaten Sukabumi. Merujuk waktu keruntuhannya Kerajaan Pajajaran yang terjadi pada tahun 1579 Masehi, maka bisa ditegaskan bahwa memang cikal bakal Palabuhan Ratu pun didirikan tahun itu juga, yang berarti usianya telah mencapai 443 tahun.
Untuk menelusuri sejarah Palabuhan Ratu, kita mulai ulang kembali dari perjalanan rombongan Prabu Ragamulya Suryakencana dari ibukota Pajajaran di Pakuan (Bogor) ke wilayah selatan.
Penulis sendiri mulai mengenal wilayah Sukabumi, khususnya Palabuhan Ratu pada tahun 1985, yang kemudian diperkuat lagu ketika membantu mendirikan sebuah Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) tahun 1995 dan Pesantren Hayatan Thayyibah sekitar tahun 1997 di Kota Sukabumi.
Pergantian peradaban sebuah keniscayaan
Berakhirnya sebuah kekuasaan dan kejayaan adalah bagian dari berjalannya sunatulloh. Keruntuhan sebuah peradaban besar selalu menimbulkan pertanyaan yang mengganggu bagi kaum intelektual (ulil al-bab) secara umum.
Al-Qur’an memiliki sebuah ungkapan yang menarik tentang lahir, tumbuh, dan runtuhhnya bangsa-bangsa di dunia, yaitu: wa tilka al ayyaamu nudaawiluhaa bainannas (3:140). Di mana kejayaan sejarah itu dipergilirkan oleh Allah SWT di antara bangsa-bangsa, mengikuti sebuah hukum yang berlaku objektif bagi bangsa manapun, termasuk kejayaan suku Sunda.
Ungkapan bahasa Sunda bisa mewakili kondisi hukum tersebut: ’Takdir teu bisa dipungkir, Kadar teu bisa disinglar’’ (ketentuan Allah SWT tidak bisa dihindari).
Penyebab keruntuhan peradaban

Keruntuhan peradaban menurut Ibnu Khaldun pemikir besar abad 14 Masehi asal Tunisia yang bernama lengkap Abu Zaid Abdurrahman bin Muhammad bin Khaldun al-Hadhrami, dapat dianalisa dengan teori “ashabiyah” atau solidaritas sosial.
Secara harfiah ashabiyah berasal dari kata ashaba yang memiliki arti mengikat. Secara fungsional ashabiyah berbicara tentang ikatan sosial budaya yang dapat digunakan untuk menjalin ikatan kelompok sosial. Selain itu, ashabiyah juga dipahami sebagai solidaritas sosial, dengan mewujudkan kesadaran, kepaduan, dan kesatuan komunitas.
Menurut Ibnu Khaldun dalam A.Rahman Zainuddin (1992), ada lima bentuk ashabiyah yaitu:
- Ashabiyah kekerabatan dan keturunan adalah ashabiyah yang paling kuat.
- Ashabiyah persekutuan, terbentuk karena seseorang membuat komunitas dengan komunitas lain yang menjadi satu ikatan.
- Ashabiyah kesetiaan, tercipta akibat kondisi sosial. Ashabiyah ini tumbuh dari persahabatan dan pergaulan yang timbul dari ketergantungan seseorang kepada garis keturunan yang baru.
- Ashabiyah penggabungan, ialah ashabiyah yang terjadi karena lepasnya seseorang dari keluarga dan kaum yang lain.
- Asabiyah perbudakan terbentuk dari hubungan antar tuan dan budak. Para budak mempunyai keterikatan kepada tuan. Sehingga harus patuh kepada tuannya.
Singkatnya, ashabiyah merupakan unsur penting dalam membangun sebuah negara, di mana tanpanya negara akan mudah runtuh karena tidak memiliki ikatan solidaritas sosial yang kuat, untuk saling bekerja sama, membangun sikap saling pengertian, dan bahu membahu mempertahankan keutuhan negara.
Keruntuhan Kerajaan Pajajaran

Awalnya, kerajaan Pajajaran berdiri karena etos solidaritas sosial dan kekompakkan yang solid akibat pengaruh dari kepemimpinan Prabu Siliwangi (1482-1521 M) yang kuat.
Setelah kerjaaan menjadi makmur dan sejahtera, pemimpin penerus (Surawisesa, Sri Ratu Dewata Buana, Sri Ratu Mangabatan, Prabu Nilakendra dan Prabu Ragamulya Suryakencana) dan rakyatnya menjadi tidak sekuat Prabu Siliwangi karena lebih cenderung menikmati kekayaan material, dan malas.
Musuh dari dalam dan luar kerajaan pun kemudian bermunculan. Pajajaran mengalami kemunduran setelah Prabu Siliwangi wafat.
Tepat hari Sabtu, tanggal 8 Mei tahun 1579 Masehi, Pajajaran mendapat serangan dari saudaranya sendiri yaitu Kesultanan Banten pimpinan Panembahan Maulana Yusuf. Kesultanan Banten berhasil menguasai daerah pendalaman dan pusat pemerintahaan Kerajaan Pajajaran di Bogor.
Mengambil keputusan strategis
Pada saat Pajajaran dikepung dan diserang, Prabu Ragamulya Suryakancana setelah bermusyawarah dengan penasehat Kerajaan lalu memutuskan:
- Prabu Ragamulya beserta senapatinya sebelum meninggalkan Pakuan akan menimbulkan kerugian besar terlebih dahulu pada pihak musuh, untuk menunjukan jati diri seorang kstaria Sunda.
- Prabu Ragamulya, permaisuri dan purohita keraton seterusnya bermaksud mengasingkan diri ke suatu tempat yang dirahasiakan untuk melakukan ‘manu raja suniya’.
- Senapati Jayaperkasa, Pancer Buana, Nangganan, dan Kondang Hapa diutus ke Sumedang membawa surat perintah raja kepada Pangeran Angka Wijaya (Geusan Ulun) agar meneruskan kepemimpinan kerajaan Sunda, sekaligus menyerahkan pula Mahkota Keprabon dan pusaka lainnya yang ada di Pakuan Pajajaran.
- Senapati Kumbang Bagus Setra dan istrinya Putri Dewi Purnamasari beserta Rakean Kalang Sunda dengan maksud melindungi raja sekaligus mengecoh pasukan Banten akan menyamar sebagai raja, yang melarikan diri ke pantai selatan.
- Sebagian prajurit jagapati keluar dari Pakuan Pajajaran untuk melindungi rombongan raja dan rombongan lainnya, dan sebagian lagi mempertahankan purasaba untuk memberikan kesempatan kepada rombongan yang keluar dari istana Pakuan.
- Menugaskan tiga pimpinan utama Pasukan khusus Bareusan Pangawinan, yaitu Demang Haur Tangtu, Guru Alas Luminang Kendungan, dan Puun Buluh Panuh yang ditugaskan raja untuk menyelamatkan Hanjuang Bodas (Cordyline fruticosa) yg ditanam Raden Wilang Nata Dini, namun yang dibawa ternyata Pakujajar (Cycas rumphii).
Bagaimana strategi penyamaran Kumbang Bagus Setra dan istrinya Putri Dewi Purnamasari apakah sukses sesuai skenario Prabu ragamulya atau sebaliknya mengalami kegagalan?
(Bersambung)