Ketika pasukan Banten memasuki Pakuan Sri Bima yang ternyata telah kosong tanpa penghuni sama sekali. Menurut Hilman Hafidz (2012), Panembahan Maulana Yusuf alias Panembahan Pakalangan mencari informasi jejak kepergian raja.
Upaya tersebut akhirnya membuahkan hasil bahwa Prabu Ragamulya Suryakancana dan Permaisuri diberitakan meloloskan diri ke arah selatan melalui Cikidang. Panembahan Yusuf segera memerintahkan kepada pasukan pilihan berkuda untuk memburu rombongan raja ke arah pantai selatan Sukabumi.
Dalam cerita Pantun Bogor Dadap Malang Sisi Cimandiri, karya Ki Buyut Baju Rambeng, sebetulnya rombongan Nyi Puteri Dewi Purnamasari, Kumbang Bagus Setra, Rakean Kalang Sunda ditemani 50 orang pasukan. Mereka sejak meninggalkan kota Pakuan dikejar terus oleh Jaya Antea dan pasukannya.
Kedengkian Jaya Antea yang mantan pembesar kerajaaan Pajajaran, akibat dipecat dan diusir oleh Prabu Ragamulya berakumulasi dengan kegagalan cinta terhadap Nyi Puteri Dewi Purnamasari. Jaya Antea memprovokasi masyarakat untuk melawan adat tradisi sekaligus juga mempengaruhi Panembahan Maulana Yusuf untuk memerangi Pajajaran.
Perlu diingat kembali bahwa, antara Prabu Ragamulya dan Maulana Yusuf adalah saudara karena sama-sama keturunan Prabu Siliwangi.
Pengejaran rombongan Nyi Puteri Purnamasari
Menahan serangan sambil bergerak mundur cukup berliku dan melelahkan dialami Nyi Putri Dewi Purnamasari yang sedang hamil.
Rute yang dilalui mulai dari:
- Sungai Cipinang Gading,
- Sungai Cisadane,
- Kampung Pamoyanan,
- Gunung Gadung (Cipaku),
- Talaga Rancamaya,
- Awi Bitung (Bitung Sari),
- Pasir Homa (Cipicung),
- Cibalung,
- Pasir Pogor (Cipelang),
- Gunung Bunder (Pamijahan),
- Cibening (Pamijahan),
- Gunung Beser (Perbakti, Cidahu),
- Cipanas gunung Wayang (Parakansalak),
- Gunung Kasur (Oray, Kabandungan),
- Leuweung Bungur (Kabandungan),
- Sungai Citarik (Cikidang),
- Sungai Cimandiri, dan berakhir di dekat muara
- Sungai Cimandiri.
Pasukan pengawal Nyi Puteri Purnamasari yang berjumlah 50 pasukan, gugur semuanya ketika berperang dengan pasukan Jaya Antea di daerah Gunung Gadung. Begitu pun juga pihak Jaya Antea tinggal menyisakan belasan anggota pasukan.
Ketika Jaya Antea mencegat Nyi Puteri Purnamasari di daerah Pajagan (sekitar kantor perkebunan Parakansalak), seluruh anggota pasukannya kecewa dengan Jaya Antea, kemudian satu-persatu mundur dan memilih kembali pulang ke daerah asalnya. Tinggalah Jaya Antea sendirian mengejar Nyi Puteri, Kumbang Bagus Setra, dan Rakean Kalang Sunda.
Gugurnya Raden Kumbang Bagus Setra

Setelah melewati sungai Citarik, tepatnya di lembah yang luas (Cikidang) rombongan tersusul oleh Jaya Antea. Terjadilah duel yang cukup seimbang antara Raden Bagus Kumbang Setra dengan Jaya Antea. Pada saat Bagus Setra lupa dalam mengendalikan emosi, terlontarlah ucapan yang menantang Jaya Antea beserta dan Tuhan yang disembahnya.
“Ngaing moal eleh ku pantar sia. Najan Panyembahan sia oge, ku ngaing moal ditinggalkeun lumpat, sor … sina kadieu…!
Kumbang Setra lupa bahwa Tuhan-nya Jaya Antea dan Tuhan-nya Kumbang Bagus adalah sama, hanya berbeda nama panggilan. Tidak lama kemudian Kumbang Bagus Setra tertelan tanah yang diinjaknya. Ditengah kesedihan yang luar biasa, Nyi Putri diselamatkan oleh Rakean Kalang Sunda.
Menetap di muara Sungai Cimandiri

Keinginan yang kuat dari seorang Nyi Puteri Purnamasari untuk meneruskan kejayaan Kerajaan Pajajaran mendapat dukungan yang luar biasa dari pengiringnya yang bernama Rakean Kalang Sunda.
Rakean Kalang Sunda pula yang membuat tempat ibadah (Sumur Haur Pamujangan) untuk berdo’a memohon petunjuk kepada Tuhan Yang Maha Esa (anu nunggal dikalanggengan) untuk bagaimana melakukan langkah-langkah selanjutnya sekaligus menentukan tempat Nyi Puteri dan anaknya Nyai Mayang Sagara.
Setelah beberapa bulan petunjuk itu muncul dalam bentuk suara tanpa wujud:
“ ….. Siar heula lebah anu dihapit dua muhara, jeung ti belah kalerna diungkulan antehan gunung. Gunung anu nyuku ka laut, ucang-ucangan ka walungan. Tah di lebah dinya mudu dia ngababakan nanggoan datang na wayah anu mawa lalakon, lalakon sunda mapag raja. Jung geura siar”.

Tempat yang dimaksud terletak antara dua muara Sungai Cimandiri dan Sungai Cidadap yang di sebelah utaranya terdapat gunung (Gunung Jayanti) dan ditandai dengan kolam kecil dengan air yang jernih di bawah pohon dadap dan kumpulan bambu kuning.
“Jog ka hiji kobakan handapeun dadap, ditonggohna aya haur sadapuran lebakeun tilu sempur gede ngarangrangan. Caina herang, patingburialn tina sababaraha mata cai. Kemudian terdengar lagi suara yang lebih menguatkan :
“ moal dicaram, moal ditawaran. Ari eudeuk mah seug bae lebah dieu ngababakan. Lantaran moal jauh ti lebah dieu baris tarembong totonden digelar Jaman”.
Tempat itu akhirnya dinamai Babakan Cidadap. Babakan Nyai Putri Purnamasari semakin lama semakin ramai dan menjadi pangkalan alat transportasi getek, perahu dan kapal-kapal besar. Penduduknya pun mendapat tambahan dari berbagai penjuru yang datang dan tinggal.
Seiring perjalanan waktu nama kampung itu menjadi Cidadap Palabuhan Nyai Ratu dipimpin oleh Puun Nyai Puteri Purnamasari.
Mendirikan Palabuhan Ratu

Pada saat Puteri Purnamasari sudah menjelang tua, kekuasaan pemerintahan diserahkan kepada puterinya yaitu Mayangsari atau Mayang Sagara, tetapi karena Puteri Mayang Sagara belum cukup dewasa maka dia dibantu oleh tiga sesepuh yaitu Ki Saragato, Ki Gandana, dan Ki Sanaya (yang mendampingi Puteri Mayangsari lahir).
Sedangkan Putri Purnamasari berpindah dan bertapa di Desa Kiara Papak, yang berlokasi di dekat sungai Cibuhun yang sekarang masuk Desa Cicareuh, Kecamatan Warung Kiara.
Selama pemerintahan diserahkan ke tiga sesepuh, Cidadap Palabuan Nyai Ratu mengalami kemunduran sehingga pusat pemerintahan dipindahkan ke sebelah utara sungai Cimandiri (Palabuhan Ratu sekarang). Setelah Mayang Sagara dewasa maka pemerintahan diserahkan kembali dari tiga sesepuh tersebut kepada Puteri Mayang Sagara, yang kemudian diberi gelar Nyai Ratu Kidul.
Sedangkan nama Cidadap Palabuan Nyai Ratu setelah dipimpin oleh Nyai Ratu Kidul diganti dengan nama Palabuan Nyai Ratu dan akhirnya menjadi Palabuan Ratu. Penulis memperkirakan kejadian ini terjadi pada tahun 1600-an, dengan asumsi bahwa Nyai Ratu Kidul yang lahir pada tahun 1580, berusia 20 tahun an ketika diberi amanah mengelola kota tersebut.
Antara Nyai Ratu Kidul dan Nyai Roro Kidul

Belanda telah banyak merusak sejarah Pajajaran, di antaranya masyarakat dibingungkan oleh siapa penguasa pantai selatan. Nyai Ratu Kidul adalah gelar yang diberikan kepada Nyai Mayang Sagara, puteri Nyai Puteri Purnamasari dan Raden Bagus Kumbang Setra.
Pendek kata, Nyai Ratu Kidul adalah keturunan Prabu Siliwangi dari kalangan manusia. Sedangkan Nyi Roro Kidul adalah penguasa laut selatan dari kalangan Jin.
Palabuhan Ratu Masa Kini

Palabuhan Ratu adalah salah satu kecamatan dari 47 kecamatan di Kabupaten Sukabumi. Ibu kota Kabupaten Sukabumi ini terletak di pesisir Samudra Hindia, tepatnya di bagian barat daya wilayah kabupaten.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) nomor 66 tanggal 27 Juli tahun 1998, Ibu kota Kabupaten Daerah Tingkat II Sukabumi dipindahkan tempat kedudukannya dari wilayah Kotamadya Daerah Tingkat II Sukabumi ke Kota Palabuhan Ratu di wilayah Kecamatan Palabuhanratu, Kabupaten Daerah Tingkat II Sukabumi.
Kota Palabuhan Ratu meliputi: Desa Citepus, Citarik, Cidadap dan Loji. Adapun batas‑batasnya sebagai berikut:
- Sebelah utara berbatasan dengan Desa Cibodas dan Desa Buniwangi, Kecamatan Palabuhan Ratu,
- Sebelah timur berbatasan dengan Desa Cikadu, Desa Tonjong, dan Desa Cibuntu, Kecamatan Palabuhan Ratu serta Desa Langkapjaya, Kecamatan Lengkong,
- Sebelah selatan berbatasan dengan Desa Kertajaya dan Desa Cihaur, Kecamatan Palabuhan Ratu,
- Sebelah barat berbatasan dengan Teluk Palabuhan Ratu, Samudera Hindia.
(Bersambung)