Kopi Gunung Puntang asal Desa Pasirmulya, Kecamatan Banjaran, Kabupaten Bandung, Jawa Barat dinobatkan menjadi yang terbaik pada perhelatan Specialty Coffee Assocation of America (SCAA) pada pertengahan April 2016 di Atlanta, Georgia, Amerika Serikat.
Sebelum meraih juara, awalnya kopi Gunung Puntang namanya nyaris tidak terdengar Kopi ini jelas masih kalah tenar dibandingkan dengan kopi Lampung, kopi Manggarai, kopi Flores, kopi Gayo, dan kopi Toraja. Walau sebenarnya potensi pecinta kopi di Jawa Barat sangat tinggi.
Lalu bagaimana kopi Gunung Puntang bisa menjadi yang terbaik? Juga bagaimana peran para petani kopi di Gunung Puntang terutama menumbuhkan minta masyarakat sekitar untuk menaman biji kopi, berikut uraiannya:
1. Para petani di balik kopi
Dikutip dari Mongabay Indonesia, pada ketinggian sekitar 1.500 meter di atas permukaan laut dan berjarak 30 kilometer dari Kota Bandung. Ayi Sutedja, seorang petani mencoba peruntungan. Dirinya belajar otodidak dan mantap membudidayakan kopi arabika lebih berteknik.
Pria yang menjadi pembina kopi Gunung Puntang ini mencari resep jitunya. Lalu berkat jerih payah dan kerja kerasnya. Dirinya berhasil menyulap sesuatu yang awalnya sulit menjadi kenyataan. Bukan hanya membawa aroma kopi Gunung Puntang ke dunia internasional, namun mengembangkan nilai ekonomi kopi beserta ekologinya.
Pada praktiknya, Ayi memilih tidak menggunakan pupuk berbahan kimia. Pohon pelindungnya berakar kuat dan berbuah, dipilih dan ditanam untuk melindungi kopi dari teriknya matahari. Karena, kopi hanya perliu 60 persen saja sinarnya.
Di atas lahan pertanian, dirinya bersama petani setempat mulai menata dari nol dengan sistem pengolahan hutan bersama masyarakat. Ketika dirinya ke lokasi, tenaman peneduh dengan kembang-kembang kopi sudah tumbuh di sana-sini. Sehingga panen hanya urusan waktu.
“Saya mulai merintis sejak 2011, ketika kopi mulai dipandang bukan sesuatu yang potensial,” jelasnya saat itu.
Ayi mengaku pada awalnya cukup sulit menumbuhkan minat petani untuk kembali mengolah kopi. Pasalnya ketika itu kopi hanya dihargai Rp2.500 hingga Rp3.000 oleh pengepul. Gairah petani langsung patah. Akibatnya kopi dibiarkan terbengkalai dan kalah saing dengan tanaman semusim.
Tetapi kini pada panen pertama saja, kopi sedikitnya telah banyak memberikan kesejahteraan bagi petani. Menurut Ayi, kini harga buah kopi telah dihargai Rp12.000/kilogram. Bahkan olahan bijinya mendapat nilai 86 dengan harga lelang 55 dolar Amerika Serikat per kilogram,
2. Kopi dalam sejarah Priangan
Bumingnya kopi di Jabar, seperti mengulang kejayaan masa lampau, ketika pada abad ke 17, Belanda mulai mengembangkan kopi di tanah jajahannya untuk dijual ke Eropa. Belanda saat itu membawa bibit kopi arabika ke Jawa Barat dan menamannya di perkebunan wilayah Priangan.
Kopi ini tersohor dengan istilah Java Preanger. Adapun Eropa mengenal kopi Jawa Barat dengan sebutan secangkir kopi dari Jawa atau a cup of Java. Dari kawasan Priangan, Belanda lalu mengembangkan kopi hingga ke sebagian Nusantara.
“Dulu, di sini juga dikembangkan kopi buhun. Bibitnya dari kopi Java Preanger,” kata Ayat, petani yang kembali menanam kopi di Desa Suten Jaya, Lembang, Kabupaten Jabar.
Tetapi masa indah kopi Jabar juga menyimpan sisi kelam. Ketika itu VOC menerapkan sistem tanam paksa. Jan Breman dalam buku berjudul Keuntungan Kolonial dan Kerja Paksa: Sistem Priangan dari Tanam Paksa Kopi di Jawa 1720-1870 mengisahkan bagaimana Belanda memaksa rakyat Sunda untuk menanam kopi, meski tidak ada keuntungan bagi petani.
Kopi kemudian mengalami musibah, tanaman ini mulai diterpa masalah. Salah satunya akibat serangan hama karat daun pada pertengahan abad ke-18 yang menghacurkan sebagian besar kebun kopi.
3. Mengulang kejayaan?
Kopi Jabar telah lama mati suri, namanya baru muncul sekitar 1997, saat beberapa perkebunan kecil kembali muncul. Sementara itu periode 2007-2011 ekspor kopi nasional tumbuh sebesar 8.1 persen per tahun dengan nilai ekspor sebesar 1.03 miliar dolar pada 2011.
Produktivitas kopi di Indonesia baru mencapai 771 kilogram biji kopi tiap hektare untuk jenis robusta. Sementara arabika, 787 kilogram biji kopi tiap hektarenya. Jumlah itu masih menempatkan Indonesia pada posisi ketiga pengekspor kopi dunia setelah Brazil dan Vietnam.
Bedasarkan data yang dihimpun, ekspor Indonesia pada pertengahan tahun 2013, volumenya mencapai 448.6 ribu ton dengan nilai 1.249.5 juta dolar. Menurut Direktur Inisiatif Dagang Hijau (IDH), Fitrian Ardiansyah permintaan kopi terus meningkat sehingga perlu ada keberlanjutan produksi.
Di Jabar, menurut Dinas Perkebunan dalam kurun waktu 2012-2015, ekspor biji kopi mencapai 187 ton dengan nilai 1,3 juta dolar AS. Pada 2012, kopi Jabar kembali di ekspor ke Eropa. Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jabar pun mendukung penuh kebangkitan kopi di daerahnya.
Mereka mengelurakna tagline “kopi yang baik itu yang digiling, bukan digunting”. Kopi juga dipromosikan. Bahkan ada acara khusus untuk mengenalkan kopi kepada masyarakat, judulnya Ngopi Saraosna di Gedung Sate.
Foto:
- Flickr
- Wikipedia
- Pixabay