Sawen dan ikhtiar keselamatan hidup manusia

Nusantara mempunyai keragaman budaya yang sangat banyak dan salah satunya pada suku Sunda yang kini menempati provinsi Banten, Jawa Barat, sebagian DKI Jakarta dan juga sebagian wilayah barat Jawa Tengah.

Persoalan yang menyangkut nilai dalam kebudayaan, pada umumnya terdapat lima hal, yaitu;

  1. makna hidup manusia,
  2. makna pekerjaan,
  3. persepsi mengenai waktu,
  4. hubungan manusia dengan alam, dan
  5. dan hubungan manusia dengan manusia lainnya.

Kearifan lokal yang menarik dari produk kebudayaan adalah Sawen sebagai ikhtiar keselamatan yang dipasang di beberapa tempat tertentu.

Keberadaan sawen merepresentasikan cara pandang mereka terhadap alam makro dan mikro kosmos beserta isinya yang kasat mata dan yang tidak kasat mata. Dalam pemahaman mereka, kedua jenis makhluk Tuhan itu memiliki karakter yang tidak jauh berbeda, ada sisi baik dan sisi buruknya.

Pengertian sawen

Penulis pertama kali mendengar “Sawen” ketika berkunjung ke kediaman Abah Jaya, juru pelihara situs Tugu Gede Cengkuk, Desa Margalaksana, Kecamatan Cikakak, kabupaten Sukabumi pada tahun 2019 dan diingatkan kembali ketika bersilaturahmi ke Olot Omik dari Kasepuhan Neglasari, Kecamatan Cilograng Banten.

Sawen dalam bahasa Sansekerta adalah susawi dan dalam bahasa Jawa kuno menjadi sawi, mendapat akhiran “n” sehingga menjadi sawin, pelafalan dalam bahasa Bali sawen. Sawi berarti tanda milik. Kata sawi, dapat juga menjadi anweni, sinawen yang artinya meletakkan tanda milik.

Di Rancakalong Sumedang, kegiatan nyawen dilakukan wanita hamil tujuh bulan yang berasal dari kata sawen. Ibu hamil tersebut merasa sawan (ketakutan).

Kegunaan sawen

  • Sawen digunakan untuk menolak bala, musibah atau sasalad, seperti aneka ragam penyakit (panyinglar wiyasa) yang datang dari berbagai arah mata angin, mulai dari jalan arah utara, selatan, barat dan timur. Penyakit yang menimpa manusia seperti  panas, cacar, campak, muntaber, dan diare. Sedangkan penyakit yang menimpa pada hewan ternak adalah ngeluk dan tetelo.
  • Sawen lembur dijadikan proteksi teritorial kampung dan permukiman masyarakat. Karena setelah pemasangan sawen atau prah-prahan ini selesai dapat memberikan satu ketenangan tersendiri karena satu kewajiban mereka telah mereka jalankan dan merasa terlindung dari bahaya yang dapat ditimbulkan entitis metafisik muncul.
  • Sawen sebagai perlindungan terhadap rumah dan permukiman dari gangguan-gangguan dari dimensi lainnya yang akan menimbulkan kerusakan pada alam.
  • Di Rancakalong Sumedang, kegiatan nyawen dilakukan wanita hamil tujuh bulan yang berasal dari kata sawen. Ibu hamil tersebut merasa sawan (ketakutan).

Bahan penyusun sawen

Sawen disusun dari beberapa tanaman yang diyakini mampu mengusir hama tanaman, energi negatif yang mengganggu manusia  dan sebagi simbol pelajaran (siloka) bagi manusia.

Barang itu diantaranya adalah tangkal pacing, anak pisang, cabai merah, bawang putih,  jawer kotok, jaringao, honje, rumput palias, pohon atau daun beringin, batang dan daun tebu, pohon hanjeli, air beras putih, air muara, air laut, harupat, tek-tek (daun sirih kapur gambir lada), dan sebagainya.

Barang tersebut merupakan media yang telah diberi kekuatan energi spiritual sebagai penolak bala, baik dalam kehidupan sehari-hari maupun pada saat melaksanakan pekerjaan besar dan penting.

Sawen Kampung Adat Cikondang kabupaten Bandung terdiri dari uang logam ditambah dengan harupat, bambu kuning, daun talas hitam (hanarusa), cabai, bawang putih, bawang merah, padi, rumput  palias, dan duri (cucuk) korod.

Sementara di Kampung Pasir Salam, Desa Nyalindung, Kecamatan Cipatat, Kabupaten  Bandung, khusus untuk sawen penangkal penyakit disiapkan rumput palias, pohon hanjuang merah dan areuy pohon srigading. Acara sawen bagi ibu yang hamil di Rancakalong, Sumedang, dengan menyediakan padi, telur, benang putih, minyak kelapa, enam macam bunga, air dan koin.

Makanannya berupa tumpeng berisi labu, dupa-dupi, labu siam rebus, gula merah cair, bubur tiis, bubur merah dan putih, kupat, leupeut, pisang, rujak cingur, kopi hitam dan jajanan manis.

Bahan-bahan sawen yang dijelaskan oleh Olot Omik dari Kasepuhan Neglasari Banten lebih sederhana yang terdiri dari daun tulak tanggul, daun sulangkar, daun pacing, daun rene, rumput palias dan harupat dari pohon kawung.

Pembuatan dan peletakan sawen

Biasanya pembuatan sawen oleh kaum laki-laki, dirumah rorokan padukunan, dua hari sebelum acara prah-prahan dilaksanakan. Dengan menyusun daun-daunan dan akar-akar yang terdiri dari tujuh jenis, sawen mulai dibentuk dan dlengkapi dengan elemen lainnya yang memberikan perbedaan antara sawen lembur dan sawen yang diletakkan di rumah.

Untuk sawen lembur akan disusun pada sebuah batang kayu, dimana dua buah sawen yang terdiri dari tujuh jenis daun dan akar akan ditata menyilang dan diikatkan pada ujung atas batang. Sedangkan ujung lainny akan ditajamkan karena akan digunakan untuk menancapkan sawen lembur pada tanah di lokasi peletakan diletakan di sekitar permukiman Kampung.

Sawen yang diletakkan dirumah akan ditambahkan dengan sebuah ketupat berbentuk segitiga yang dibungkus dengan daun bambu. Ketupat ini akan dibuat oleh kaum wanita dan disatukan dengan sawen yang semuanya akan di proses dalam ritual prah-prahan.

Hampir setiap rumah dipasangi sawen pada bagian pintu rumahnya, begitu juga dengan leuit, saung dan kandang-kandang ternak mereka, seperti sapi, kambing, dan ayam. Sawen juga menjadi hiasan wajib ketika berlangsung acara kendurian yang berkaitan dengan upacara daur hidup manusia, aktivitas pertanian, hajat lembur, atau menempati rumah baru. Sawen dipasang di rumah-rumah setiap hari atau pada saat kendurian.

Kegiatan prah-prahan

Prah-prahan merupakan ritual tahunan yang dilakukan oleh masyarakat Kampung Adat. Ritual ini dalam upaya menjalankan tradisi mereka yang mengagungkan padi dan kepercayaan mereka akan eksistensi Nyai Sri Pohaci.

Prah-prahan diadakan dengan diikuti ritual lainnya. Prah-prahan dilakukan setahun sekali dengan waktu pelaksanaan yang ditentukan dengan perhitungan kalender sunda. Prah-prahan dilakukan disore hari menjelang waktu tenggelamnya matahari. Ritual ini dilakukan di alun-alun Kampung Adat, dengan dipimpin oleh rorokan padukunan.

Di dalam penyelenggaraannya terdapat kutipan pajak Sapar, yaitu pajak rumah yang dikonversi ke dalam bahan proteksi rumah dan kampung (sawen). Pajak Sapar mulai dikutip tiap tanggal 4 Sapar dan berakhir pada 12 Sapar.

Perlindungan hukum

Perlindungan sawen sebagai bagian dari 37 warisan budaya tak benda (WBTB)  telah dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Jawa Barat pada tahun 2022. Ke-37 warisan yang lain adalah:

  • Adzan Pitu (Cirebon),
  • Bangreng (Sumedang),
  • Batik Garutan (Garut),
  • Batik Sukapura (Tasikmalaya),
  • Bebentengan (Jawa Barat),
  • Bedog Cikeruh (Sumedang),
  • Berokan Dermayu (Indramayu),
  • Bubur Suro (Cirebon),
  • Calung Renteng (Jawa Barat Priangan),
  • Celempung (Jawa Barat),
  • Cigawiran (Garut),
  • Cikeruhan (Sumedang),
  • Degung (Jawa Barat),
  • Dodol Ketan Kasepuhan Banten Kidul (Sukabumi),
  • Doger (Subang),
  • Empal Gentong (Cirebon),
  • Galendo (Ciamis),
  • Genjring Ronyok Tepak Lima (Ciamis),
  • Goong Renteng (Jawa Barat),
  • Grebeg Syawal (Cirebon),
  • Hajat Laut (Pangandaran),
  • Jamasan (Cirebon),
  • Kacapi Suling (Jawa Barat Priangan),
  • Kendang Sunda (Jawa Barat),
  • Ketuk Tilu (Jawa Barat Priangan),
  • Kiliningan (Jawa Barat Priangan),
  • Longser (Jawa Barat Priangan),
  • Merlawu Situs Kabuyutan Gandoang (Ciamis),
  • Moci (Sukabumi),
  • Ngunjal Kasepuhan Banten Kidul (Sukabumi),
  • Maca Babad (Cirebon),
  • Ronggeng Amen (Ciamis),
  • Sawen Kampung Banceuy (Subang),
  • Surak Ibra (Garut),
  • Tari Bedaya Rimbe (Cirebon),
  • Upacara Pamitan (Bandung Barat), dan
  • Upacara Serepan Patalekan (Bandung Barat).

Penulis (tengah) didampingi Abah Jaya Sasmita (kiri bawah), sang juru kunci Situs Cengkuk, yang masih mengadopsi ritual Sawen di wilayahnya (dok. bahadur)

Hikmah keberadaan sawen

Pertama, sawen menjadi sarana untuk melanggengkan kedudukan pemimpin adat di beberapa Kampung Adat di daerah Sunda. Perlu diketahui, struktur kepemimpinan masyarakat adat dibangun oleh dua sistem kepemimpinan yang berbeda, yakni formal dan informal.

Sistem tersebut berjalan secara harmonis mengatur roda kehidupan masyarakat. Kedua, sawen menjadi sarana untuk mewujudkan nilai kebersamaan yang dibangun oleh masyarakat Kampung adat. Termasuk dalam hal ini rasa kebersamaan dalam menghadapi berbagai kesulitan, seperti menghadapi penyakit.