Depok dahulunya dirancang sebagai kawasan taman kota. Bahkan pada zamannya, kota ini telah terkenal menjadi kawasan cagar alam pertama di Hindia Belanda.
Herman van Breen, seorang tokoh sentral melawan banjir dari Technische Hoogeschool Bandung menjadi orang yang merancang Depok sebagai kawasan taman kota.
Pasalnya begitu sukarnya penanganan banjir di Kota Batavia, akibat pengrusakan lingkungan di sekitar puncak untuk perkebunan teh.
“Membayangkan di masa depan pinggiran selatan Jakarta, terutama Depok sebagai kawasan biru atau pemertahanan air, sekaligus kawasan hijau alias pepohonan melulu,” jelas sejarawan JJ Rizal yang dilansir dari Sejarah Jakarta.
Nah, bagaimana sejarah Depok yang awal mulanya ingin dijadikan hutan kota, berikut uraiannya:
1. Cornelis Chastelein tuan tanah yang cinta lingkungan
Tuan tanah di daerah Depok, Cornelis Chastelein telah membangun kota ini sebagai daerah hijau. Karena itu, bila ada gagasan mengenai Depok sebagai taman kota jelas bukan angan-angan belaka.
“Bahkan dia membayangkan lebih dari sekadar Depok kota taman, yaitu kota taman dengan arboretum atau hutan kota” ucapnya.
Chastelein sebenarnya telah mewujudkan gagasannya dengan penentuan kawasan Ratu Jaya, Rawa Geni hingga Mampang yang di timurnya berbatasan dengan Parung Belimbing sebagai hutan Depok.
Dirinya terkenal ketat untuk menjaga hutan Depok, hal ini dapat dilihat dari surat wasiatnya kepada anak-anaknya.
“Anakku Anthony Chastelein budak-budak turun temurun tiada sekali-sekali boleh potong atau memberi izin akan potong kayu dari hutan.”
Karena begitu mencintai lingkungan,
Chastelein pernah mengkritik keras ketika hutan-hutan di daerah Batavia dibabat dan dijadikan kebun tebu untuk industri gula Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC). Pembabatan ini baginya akan merusak keseimbangan vegetasi tropis.
“Kekhawatiran itu benar karena pembabatan hutan itulah yang membawa bencana ekologi dengan wabah penyakit-penyakit aneh sehingga mematikan VOC dan kota Batavia sejak pertengahan abad ke-18,” jelas Rizal.
“VOC bangkrut dan penduduk dipaksa pindah mencari tempat baru ke selatan di sekitar Gambir,” tambahnya.
2. Warisan hutan kota Chastelein
Sepeninggalnya, warisan Chastelein masih bisa dinikmati oleh masyarakat hampir sekitar dua abad. Hutan kota Depok masih begitu memukau karena memiliki tanaman dengan jenis-jenis yang khas di Jawa.
“Seperti Sloanea Javanica yang akarnya lebar dan Orania Macroladus sejenis palem,” imbuhnya.
Sementara itu cagar alam kota Depok telah ditetapkan sejak masa Hindia Belanda. Kawasan ini sekarang terkenal dengan nama Taman Hutan Raya (Tahura) yang berada di Kelurahan Depok, Kecamatan Pancoran Mas Kota Depok.
Hutan ini awalnya memiliki luas hingga 150 hektare dan menjadi peninggalan pada abad ke 17. Tetapi selanjutnya terus menyusut karena perubahan fungsi menjadi lahan pertanian, sehingga kini tersisa 1,7 hektare.
Karena khawatir dengan kondisi ini, pada 31 Maret 1912, Nederlands Indische Vereniging Tot Natuur Berscherming atau Perhimpunan Perlindungan Hutan Alam Hindia Belanda bekerja sama dengan kota praja (Gemeente) Depok menetapkannya menjadi cagar alam
(natuur reservaat).
Tetapi memasuki tahun 1990-an, melalui SK Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 276/Kpts-II/1999 tanggal 7 Mei 1999, Cagar Alam Pancoran Mas Depok kemudian menjadi Tahura. Hal ini karena turun kualitasnya sebagai wilayah konservasi.
“Ini menyedihkan tetapi tetap masih membanggakan karena Depok menjadi salah satu dari 22 kota di Indonesia yang memiliki Tahura atau Taman Hutan Raya,” tegasnya.
3. Tahura nasibmu kini
Kini kawasan yang menjadi warisan dari Chastelein ini terus menyempit. Hal ini karena begitu pesatnya pembangunan kota Depok, beserta bertambahnya permukiman-permukiman baru.
Keanekaragaman hayati yang telah menjadi kekayaan Tahura kini telah jauh berkurang. Tidak ada lagi kawasan pepohonan yang rindang dan menjulang tinggi sebagai ciri khas hutan daratan rendah Pulau Jawa bagian barat.
Bedasarkan catatan Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) Tahura Pancoran Mas. Kawasan konservasi di tengah kota kini hanya menyisakan 83 spesies dan 43 famili flora. Di antaranya, 27 jenis pohon sepeti meranti, waru, jambu, keluih, dan laban.
Ada juga 30 jenis tumbuhan bawah seperti rotan, pakis hutan, dan rumput gajah serta empat jenis liana, yaitu seserehan, rarambatan, gadung, dan cipatuheur.
Seperti juga beberapa satwa yang tersisa saat ini hanya spesies ular seperti sanca, kobra, ular pucuk dahan kepala merah, serta kucing hutan, musang, dan biawak. Kita juga masih bisa menemukan jenis katak pohon dan katak terbang serta beberapa spesies burung belukar seperti jogjog, ciblek, cincuing, kipasan, dan perenjak.
Ternyata perubahan status Tahura tidak serta merta mengubah prilaku masyarakat sekitarnya untuk ikut menjaga kelestarian hutan kota ini. Lokasi yang dikepung permukiman padat penduduk seperti sekarang ini membuat pengelola sulit melakukan pengawasan
“Menyedihkan karena tak terawat dan menjadi tempat pembuangan sampah warga serta dikepung permukiman,” ucap Rizal.
“Kekhawatiran juga timbul Tahura Depok akan mengalami seperti yang dialami Cagar Alam Muara Angke di Jakarta yang sedikit demi sedikit dirambah dan beralih fungsi menjadi permukiman,” tambahnya.
Foto:
- Dari berbagai sumber