Ketupat masih menjadi pilihan saat waktu Lebaran tiba. Di beberapa daerah seperti di Magelang dan Kudus masih terdapat tradisi Lebaran Ketupat yang biasanya jatuh pada sepekan setelah Idul Fitri. Walau perlu dianyam terlebih dahulu, kebanyakan masyarakat masih tetap membuat ketupat dengan bungkus janur.
Masa lebaran, perajin kulit ketupat dan pembuat ketupat juga mengalami kenaikan pesanan. Hingga sekarang para perajin tetap mempertahankan janur atau daun kelapa sebagai bungkut ketupat, bukan plastik. Bungkus ketupat dengan janur kelapa jelas bisa ramah lingkungan dan menjadi pesan kearifan.
Lalu bagaimana posisi ketupat dalam menjaga lingkungan? Dan apa juga manfaat dari pelestarian ketupat untuk ekonomi masyarakat? Berikut uraiannya:
1. Makna mendalam ketupat

Masa Lebaran pada bulan Syawal berdasarkan kalender Islam dan Jawa, menjadi bulan yang identik dengan ketupat. Secara umum, ketupat pasti menjadi suguhan makan pada tanggal 1 Syawal. Namun ada juga beberapa daerah yang memiliki tradisi Lebaran Ketupat.
Ketupat atau dalam bahasa Jawa, kupat bisa diartikan beragam, salah satunya adalah “ngaku lepat” atau mengakui kesalahan dan meminta maaf. Bisa juga diartikan menjadi “laku papat” yang dapat diterjemahkan menjadi empat prilaku yakni syariat, tarekat, hakekat, dan makrifat.
Sementara dalam pandangan orang Jawa, laku papat terbagi menjadi empat yakni lebaran, leburan, luberan dan laburan. Karena itu bagi orang Jawa, ketupat sesungguhnya memiliki makna yang mendalam, tidak hanya sekadar makanan.
“Memang ketupat atau kupat identik dengan lebaran, leburan, luberan, dan laburan,” kata Koordinator Pusat Penelitian Budaya Daerah dan Pariwisata (Pusbudpar) Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto Iman Suhardi yang dinukil dari Mongabay Indonesia.
Iman menyatakan masing-masing memiliki arti, misalnya untuk lebaran maknanya selesai. Itu menandakan berakhirnya puasa sebulan penuh. Kemudian leburan atau meleburkan kesalahan. Sedangkan luberan yang bermakna melimpah artinya memberikan zakat. Dan laburan berarti pemutihan diri.
2. Ketupat dan pesan lingkungan.

Iman menyebut ketupat sebenarnya hanya makanan biasa, yakni beras yang kemudian direbus dengan bungkus anyaman janur atau daun pohon kelapa. Tetapi, bila lebih diperdalam maknanya, sebetulnya akan ada pesan kearifan lingkungan yang mendalam.
Misalnya, ketupat tentu tidak dapat dilepaskan dari kulit atau selongsong ketupat. Demi kepraktisan, sebenarnya tanpa harus mengambil janur kemudian dianyam, bisa saja menggunakan plastik. Namun demikian, hingga kini kebanyakan masyarakat masih tetap membuat ketupat dengan bungkus janur.
“…Namun bukan soal kepraktisan semata. Dengan menggunakan janur, sesungguhnya ada rasa memuliakan tanaman. Sebetulnya pohon kelapa utamanya diambil buah dan kayunya. Namun, kenyataannya, bisa diambil daunnya. Ini sama saja memuliakan tanamannya juga,” ungkap Iman.
Penggunaan daun pohon kelapa, tidak berari melakukan ekspolitasi. Karena daun kelapa juga tidak terbatas, justru saat diambil daunnya, maka pohon kelapa juga harus dijaga keberadannya. Bila tidak ada pohon kelapa, tentu tidak bisa mengambil janur atau daunnya untuk membuat ketupat.
“Inilah pesan kearifan lingkungan yang ada dalam ketupat Lebaran. Bahkan, anyaman kulit ketupat juga dapat menggambarkan kondisi seseorang. Bagi mereka yang mungkin ada masalah, tentu saja anyamannya akan tidak rapi. Jadi, ada semacam komunikasi non verbal antara manusia dengan janur yang dianyaman menjadi kulit ketupat,” jelasnya.
3. Kelestarian ekonomi rakyat

Tradisi mengkonsumsi ketupat juga memberikan berkah ekonomi bagi para pedagangnya. Purwanto, menyebut pada masa Lebaran, permintaan ketupat sangat tinggi. Pada hari-hari biasa, permintaan ketupat sekitar 2.500 ketupat dengan kebutuhan beras mencapai 1 kuintal.
“Selama tiga hari pada masa Lebaran, ada 25 ribu ketupat yang dapat dijual. Kebutuhan berasnya bisa mencapai 1 ton. Harganya juga berbeda, kalau kondisi normalnya hanya Rp7 ribu per 10 buah ketupat, namun jika masa Lebaran harganya Rp12 ribu hingga Rp15 ribu per buah 10 buah ketupat, paparnya.
Purwanto menyebut tidak ada niatan mengubah kulit ketupat dari janur dengan plastik. Alasannya bermacam-macam, selain menjaga tradisi, dari segi rasa ketupat akan lebih enak dengan bungkus janur. Ketupat dengan bungkus janur juga bisa bertahan hingga tiga hari, dibanding memakai plastik yang hanya sehari.
“Plastik juga menimbulkan masalah pencemaran. Nah kalau dengan janur, maka sampahnya kan organik, dapat terurai. Beda dengan plastik,” tandanya.