Kuskus waigeo, marsupial bertutul endemik Papua

Punya cakupan wilayah yang luas, masih banyak kawasan pedalaman Papua yang belum terjamah. Termasuk di dalamnya keberadaan sejumlah spesies unik yang belum banyak orang tau. Selama ini, Papua memang dikenal sebagai rumah bagi hampir separuh spesies burung endemik yang dimiliki Indonesia. Namun bukan berarti sama sekali tidak terdapat jenis hewan endemik lainnya.

Selain burung, Papua juga memiliki satu spesies hewan yang masuk dalam kategori marsupial unik dan hanya dapat ditemui di pulau ini. Di wilayah Papua Barat, terdapat hewan marsupial endemik bernama kuskus scham-scham, atau dikenal juga dengan nama kuskus waigeo.

Penamaan waigeo memang merujuk pada pulau tempat di mana habitat asli kuskus ini berasal, yaitu pulau Waigeo. Di mana pulau tersebut merupakan pulau terbesar dari empat pulau utama di Kepulauan Raja Ampat.

Keunikan apa saja yang dimiliki kuskus waigeo?

1. Ciri kuskus Waigeo

Memiliki nama ilmiah Spilocuscus papuensis, kuskus waigeo sebenarnya memiliki karakteristik hampir sama seperti kuskus pada umumnya. Namun, ciri khas yang dimiliki adalah adanya warna bulu bertutul yang membuat spesies satu ini masuk dalam genus Spilocuscus.

Didominasi bulu putih, tampilan tersebut dilengkapi dengan corak totol berwarna hitam di sebagian besar area tubuhnya. Kondisi tersebut yang membuat kuskus ini kerap dijuluki juga dengan sebutan kuskus tutul waigeo.

Fakta lainnya, jika dilihat sekilas kuskus jenis ini memiliki wujud yang hampir sama seperti kuskus tutul hitam (Spilocuscus rufoniger). Hal tersebut lantaran ukuran tubuh keduanya hampir sama. Ciri paling kentara yang bisa membedakan kuskus waigeo dengan kuskus lainnya terlihat pada bagian pupil matanya. Di mana mereka memiliki celah vertikal dengan bola mata berwarna merah.

Berbeda dengan kuskus lain yang biasa memiliki perbedaan bobot jantan dan betina, kuskus waigeo bisa dibilang hampir tidak memiliki perbedaan. Bobot kedua jenis individu diketahui bisa mencapai kisaran 2,65 kilogram.

Dengan ukuran spesies betina ada dikisaran 47,2 sentimeter, dan jantan di kisaran 47,9-56 sentimeter. Sebagai catatan, ukuran tersebut belum termasuk panjang ekor mereka yang bisa mencapai 49,2-55,5 sentimeter untuk pejantan, dan 47,6 sentimeter untuk betina.

2. Hewan nokturnal

Bicara mengenai proses perkembangbiakan, kuskus waigeo diketahui bisa melahirkan hingga tiga ekor anak dalam sekali proses kehamilan. Di mana lama kehamilan tersebut berlangsung selama 13 hari dan bisa terjadi sepanjang tahun.

Uniknya, anak kuskus waigeo yang baru lahir ternyata hanya memiliki bobot tak lebih dari 1 gram. Namun sebagaimana umumnya hewan marsupial, pertumbuhan anak tersebut dilanjut dengan masa tinggal di dalam kantung sang induk selama 6-7 bulan.

Untuk bertahan hidup, kuskus waigeo di habitatnya biasa memakan berbagai macam tumbuh-tumbuhan dan bunga. Meski terkadang juga mengonsumsi ragam binatang kecil. Mereka termasuk hewan nokturnal dan biasa berburu pada malam hari serta tidur di siang hari.

Secara normal, mereka memiliki masa hidup hingga mencapai 11 tahun. Di mana kemampuan untuk bereproduksi atau kematangan seksual mulai bisa dilakukan saat sudah menginjak usia satu tahun.

3. Pemalu

Soal habitat, menurut penjelasan Balai Karantina Pertanian Jayapura, mereka akan dapat ditemui pada wilayah hutan Waigeo tepatnya di dataran yang memiliki ketinggian 1.200 meter di atas permukaan laut.

Meski begitu, populasi hewan ini juga kerap ditemui di wilayah terdekat lainnya seperti Raja Ampat dan pulau-pulau kecil wilayah Papua Barat. Sama seperti spesies kuskus lain, kuskus waigeo juga termasuk satwa pemalu.

Mereka jarang menampakkan diri secara terang-terangan, bahkan lebih terkesan menghindar dan bersembunyi ketika ada ancaman. Namun sekalinya berada di kondisi terhimpit dan merasa terancam, mereka seketika akan berubah menjadi agresif dan sanggup untuk menggigit bahkan menendang lawannya.

Untuk smentara ini memang tidak ada catatan pasti mengenai jumlah individu atau populasi kuskus waigeo yang ada di alam. Namun diketahui jika mereka termasuk salah satu hewan terancam yang sudah berada di status rentan (vulnerable), menurut pencatatan terakhir IUCN di tahun 2015.