Mentilin, satwa identitas Bangka Belitung yang kondisinya terancam

Mentilin, satwa identitas Bangka Belitung yang kondisinya terancam – Menitilin (Cephalopachus bancanus bancanus) atau tarsius bangka yang merupakan fauna identitas dari Kepulauan Bangka Belitung kini berstatus Rentan (Vulnerable/VU) berdasarkan IUCN Red Lits. Padahal bagi lingkungan dan manusia hadirnya hewan-hewan ini sangat penting bagi indikator kesehatan ekosistem lingkungan.

Hasil penelitian menunjukkan wilayah hutan di Bangka kini banyak menjadi tambang timah ilegal, perkebunan sawit dan permukiman. Selain itu aktivitas jual beli satwa juga berpengaruh terhadap berkurangnya sejumlah aktivitas satwa langka yang ada.

Lalu bagaimana kondisi mentelin di Bangka sekarang? Benarkah kondisi hewan di sana sangat terancam? Berikut uraiannya:

1. Mentilin yang terancam

Kegiatan yang tidak ramah lingkungan terjadi di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, hal ini tidak hanya berdampak pada kehidupan manusia, namun merusak habitat satwa yang dilindungi. Berdasarkan data penelitian Randi Syafutra dan kawan-kawan yang diterbitkan dalam Asian Primates Journal 2019 memperlihatkan hal ini.

Dari 657.510 hektare tutupan hutan di Kepulauan Bangka Belitung (luasan ini berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Indonesia No.357/Menhut-II/2004 tentang Kawasan Hutan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung), hanya 28 persen yang relatif tidak terganggu. Sisanya, 72 persen terdegradasi.

“Hutan di Bangka saat ini, banyak yang dikonversi menjadi tambang timah ilegal, perkebunan sawit, dan permukiman. Selain itu, aktivitas jual beli satwa juga berpengaruh terhadap berkurangnya sejumlah satwa langka di Bangka Belitung,” kata Randi Syafutra peneliti satwa di Pulau Bangka yang dikutip dari Mongabay Indonesia, Selasa (14/6/2022).

Kini berdasarkan data dari Satuan Lingkungan Hidup Daerah (SLHD) Provinsi Kepulauan Bangka Belitung tahun 2016, menunjukan bahwa satwa seperti rusa sambar mulai sulit ditemui. Sementara mentilin atau tarsius bangka yang merupakan fauna identitas Kepulauan Bangka Belitung kini berstatus rentan.

Selain itu, hal yang sama terjadi pada kukang (Nycticebus bancanus), trenggiling (Manis javanica), kijang (Muntiacus muntjak) dan binturong (Arctictis binturong), sedikit dari sekian banyak spesies satwa dilindungi yang mulai sulit ditemukan di hutan Kepulauan Bangka Belitung.

“Mentilin, kukang, binturong merupakan spesies kunci ekosistem karena pemakan buah dan serangga. Semakin berkurangnya tutupan hutan serta pakan alami yang sulit, membuat spesies ini terancam,” kata Randi.

2. Penting bagi eksosistem

Randi menjelaskan bahwa mentilin dan kukang memiliki kemiripan, baik dari segi biodiversitas habitatnya, seperti hutan dengan tutupan padat yang kini banyak tersebar di hutan sekunder, serta peranan pentingnya dalam sebuah ekosistem hutan.

Mentilin adalah primata karnivora yang memangsa serangga (misalnya kumbang, semut, belalang, jangkrik, kecoak, ngengat, kupu-kupu, dan jangkrik) dan vertebrata (misalnya burung, kelelawar buah kecil, laba-laba, katak, kadal, dan tikus).

“Mentilin menjadi pengontrol populasi serangga. Tanpa atau hilangnya mentilin di Bangka, populasi serangga akan membludak dan menjadi hama di perkebunan, seperti perkebunan lada, dan tentunya mengganggu ekosistem. Sedangkan kukang, umumnya sebagai penebar benih yang sama halnya dengan binturong,” jelas Rendi.

Karena itu, Rendi berpendapat sangat wajar bila mentilin menjadi maskot dari Bangka Belitung karena perannya sangat penting bagi hutan yang banyak memberikan manfaat bagi masyarakat. Sebaran populasi mentilin di Pulau Bangka pun berada di beberapa wilayah.

“Bagi lingkungan dan manusia, sejumlah satwa ini berperan penting sebagai spesies indikator kesehatan ekosistem lingkungan. Tanpa mereka, ekosistem lingkungan di Bangka Belitung akan collapse jika keberadaannya menurun apalagi punah,” jelasnya.

3. Masih ada harapan

Yayasan Konservasi Pusat Penyelamatan Satwa (PPS) Animal Lover Bangka Island (ALOBI) Bangka Belitung menjadi salah satu dari lima PPS di Indonesia yang menerima serahan sejumlah satwa yang terluka ataupun terjebak konflik dengan manusia dari luar daerah seperti Lampung, Sumatra Selatan (Sumsel), dan Riau.

“Dahulu, kami sempat pelihara hewan. Namun, akhirnya kami sadar perbuatan itu salah dan kami bebaskan seluruhnya. Hingga saat ini, sekitar 6.400 induvidu hewan telah kami lepas liarkan di hutan,” kata Langka Sani, pendiri sekaligus ketua PPS ALOBI.

Saat ini mereka memiliki belasan anggota tetap dan mempunyai relawan hampir di seluruh Bangka dan Belitung. Mereka aktif mengawal sejumlah kasus jual beli satwa, sosialisasi ke masyarakat, serta mendorong kepedulian Pemerintah Provinsi Bangka Belitung terhadap keberlangsungan satwa.

Menurut mereka, kasus jual beli satwa ilegal sering terjadi di Bangka Belitung. Karena kurangnya pemahaman masyarakat mengenai satwa liar yang dilindungi. Karena itulah mereka terus menggencarkan sosialisasi ke tingkat tapak, karena warga setempat yang berpeluang menjadi kader konservasi.

“Semoga kesadaran masyarakat meningkat. Pemerintah juga harus berperan dalam hal penentuan kawasan khusus untuk kelangsungan hidup satwa liar yang aman dari gangguan manusia,” bebernya.