Bubu, alat tangkap ikan tradisional yang ramah lingkungan

Memburu, memancing, atau menangkap ikan bukan sekadar aktivitas sampingan dan bersenang-senang. Bagi sebagian besar kalangan, kegiatan ini telah menjadi profesi dan mata pencarian bagi sebanyak 2,35 juta orang nelayan, setidaknya per tahun 2020.

Namun harus diakui, jika di era modern saat ini aktivitas penangkapan ikan banyak dilakukan dengan cara merusak lingkungan. Mulai dari metode asal tangkap, hingga perusakan habitat di bawah laut dangkal seperti kerusakan terumbu karang dan sebagainya. Hal tersebut terjadi akibat ketidakramahan alat yang digunakan.

Sejauh ini, umumnya ada tiga jenis alat tangkap ikan yang oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan sendiri bahkan dilarang penggunaannya, yakni pukat tarik (seine nets), pukat hela (trawls), dan perangkap ikan peloncat.

Apakah ada alat yang sebenarnya bersifat lebih ramah dalam kebutuhan aktivitas penangkapan ikan di habitat air baik sungai atau laut?

1. Mengenal bubu

Sebenarnya ada beberapa metode penangkapan ikan yang lebih ramah lingkungan dengan menggunakan alat tertentu. Bahkan alat yang dimaksud sudah banyak digunakan sejak lama, salah satunya adalah Bubu.

Bubu adalah alat untuk menangkap ikan yang dibuat dari saga atau bambu yang dianyam, kemudian dipasang dalam air pada kedalaman tertentu. Dengan bentuknya yang dirancang sedemikian rupa, ikan dapat masuk tetapi tidak dapat keluar lagi.

Dibentuk dengan konsep jebakan dan bersifat pasif, alat ini juga sering disebut perangkap (traps) dan penghadang (guiding barriers). Memiliki bentuk kurungan layaknya ruangan tertutup, prinsip dasar dari bubu adalah menjebak penglihatan ikan sehingga ikan yang terperangkap tidak dapat keluar.

Di setiap daerah Indonesia, alat satu ini juga memiliki nama yang beragam. Misalnya di Flores Timur, alat yang sama biasa disebut dengan nama lokal Wuo. Sementara itu nama berbeda juga dimiliki masyarakat Minangkabau di Sumatra Barat yang lebih sering menyebutnya dengan istilah Lukah.

2. Digunakan sejak 1930

Menilik wujudnya secara tradisional, alat ini biasanya memiliki bentuk silinder dengan panjang 1,5 meter dan berdiameter 30 sentimeter. Sebenarnya, alat satu ini lazim digunakan atau dipasang pada perairan tawar seperti sawah dan sungai-sungai kecil.

Mengenai cara penggunaannya, bubu akan diletakkan pada jalur strategis yang biasa dilalui ikan, kemudian didiamkan selama satu malam atau satu hari. Keesokan harinya, masyarakat yang memasang jebakan tersebut baru kembali untuk mengangkat bubu dengan sejumlah ikan yang sudah terperangkap di dalamnya.

Diyakini jika bubu sebenarnya sudah digunakan sejak kisaran tahun 1930 dan 1940-an. Ada alasan khusus yang membuat bubu dipastikan tidak merusak lingkungan dan membuat sumber daya tetap seimbang. Salah satunya adalah karena kebiasaan masyarakat zaman dulu atau masyarakat pedesaan masa kini, yang lebih memilih melepaskan ikan-ikan berukuran kecil jika tertangkap.

3. Bubu di masa kini

Selain memiliki bentuk bulat atau silinder, seiring perkembangannya bubu kini sudah memiliki bentuk yang beragam, terutama terkait kegunaannya saat sudah digunakan sebagai alat penangkap ikan di wilayah perairan asin atau laut.

Namun dari sekian banyak jenis bubu yang ada, satu yang paling banyak digunakan karena secara nyata tidak menimbulkan kerusakan terutama terhadap terumbu karang adalah bubu apung.

Memiliki bentuk bervariasi seperti kubus dan tabung, sesuai namanya bubu apung dilengkapi dengan pelampung yang terbuat dari dari bambu atau rakit bambu pada bagian atasnya.

Secara sederhana, setiap bubu biasanya memiliki tiga bagian utama yakni badan, lubang mengeluarkan hasil tangkapan, dan mulut bubu. Khusus pada bagian mulutnya, semakin ke dalam diameter lubang akan semakin mengecil dan melengkung. Lengkungan tersebut berfungsi agar ikan yang masuk sulit untuk meloloskan diri atau keluar.