Pada saat Konferensi Perubahan Iklim PBB COP26, Indonesia menjanjikan emisi gas rumah kaca (GRK) akan menurun setelah 2030. Pemerintah juga mengatakan bahwa akan mengakhiri deforestasi pada saat yang bersamaan.
Isu lingkungan juga pada akhirnya melahirkan kebijakan untuk mengurangi emisi, di anatarnya dari sektor industri dan transportasi. Sejauh ini Indonesia mengandalkan penggunaan bahan bakar nabati (BBN) berbasis sawit yang sudah barang tentu bakal jauh lebih besar.
Tapi ketika ditanyakan apakah itu artinya akan ada sebuah proses yang memungkinkan mendorong hilangnya area hutan (deforestasi) yang akan digantikan oleh perkebunan sawit, Dr. Ir. Budi Leksono M.P, Peneliti Ahli Utama Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan (BBPBPTH) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), mengatakan bahwa saat ini memang kita tak bisa menutup mata, kalau energi terbarukan (EBT) masih mengandalkan sektor sawit.
”Ya wajar saja, untuk yang paling siap saat ini ya sawit. Lahannya saja yang ada sudah jutaan hektare,” tanggapnya.
Namun Global Forest Watch (GFW) memiliki rujukan terkait tanaman yang menghasilkan minyak biofuel selain sawit. Mereka menyebut ada sekitar 50-60 tanaman lain yang lebih ramah lingkungan ketimbang kelapa sawit.
Misalnya kemiri sunan yang populasinya cukup moncer di Indonesia, seperti dijelaskan oleh Dinas Perkebunan (Disbun) Jawa Barat, yang menyebut bahwa satu hektare lahan kelapa sawit dengan umur 5 tahun mampu menghasilkan 5 ton biosolar, sementara untuk luas dan umur yang sama, kemiri sunan mampu menghasilkan 2,2 juta ton biosolar.
Lebih sedikit memang, tetapi umur produksi kemiri sunan mencapai 50 tahun dengan produktivitas yang terus meningkat. Berbeda dengan sawit yang harus diremajakan setiap 15 tahun karena produksi menurun.
Sementara Fadli Ahmad Naufal, dari Yayasan Madani Berkelanjutan, bilang bahwa ada sekira 2,27 juta hektare lahan yang bisa dikembangkan untuk mengoptimalkan komoditas tanaman non-sawit untuk biodiesel.
Fadli menyebut, lahan-lahan potensial biofuel non-sawit itu tersebar di beberapa wilayah, seperti di Sumatra, Kalimantan, NTT, dan tentunya Papua. Soal jenis tanaman-tanaman potensial itu tadi, antara lain; jarak, tebu, aren, pinang, jagung, ubi jalar, ubi kayu, kelapa, dll.
Nyamplung yang potensial

Sedangkan dari hasil penelitian Budi Leksono, tanaman lainnya yang berpotensi menjadi komoditas biofuel berskala besar adalah nyamplung (Calophyllum inophyllum). Ia juga mengatakan tanaman ini memiliki potensi jika dilihat dari sebaran wilayah dan keberlangsungan produksi.
Sebagai tanaman asli Indonesia, Budi menyebut bahwa nyamplung bisa dibudidayakan di semua wilayah di Indonesia, utamanya yang memiliki ketinggian 0-300 mdpl.
Dalam catatannya, hingga saat ini sebaran nyamplung sudah berada di beberapa wilayah di Indonesia, seperti di Sumatra Barat, Riau, Jambi, Sumatra Selatan, Lampung, Jawa, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Sulawesi, Maluku, NTT, bahkan hingga Papua.
Di Jawa, nyampung bisa berbuah sampai 20 ton per hektar per tahun, dan dapat tumbuh di mana saja, seperti di lahan terdegradasi, lahan bekas tambang, lahan bekas penebangan liar, dan lahan bekas kebakaran hutan. Dan yang menarik, nyamplung tak berbenturan dengan kebutuhan pangan, seperti apa yang dialami oleh sawit.
Lain itu, nyamplung memiliki daya tahan lingkungan yang cukup tinggi dan relatif mudah dibudidayakan. Baik areal tanaman sejenis (monokultur) atau tanaman hutan campuran (mixed-forest), serta cocok dan ideal untuk wilayah beriklim tropis.
Penelitian terkait nyamplung dilakukan Prof Budi di Badan Litbang Kehutanan pada 2009 yang ia prakarsai. Penelitian tersebut untuk mencari sumber energi alternatif untuk menjaga ketahanan energi nasional.
”Tugas peneliti itu kan mencari energi alternatif, karena kita tak selamanya bisa mengandalkan energi fosil,” ungkapnya.
Hasil penelitian itu menemukan fakta, bahwa biji nyamplung mempunyai rendemen yang tinggi (74 persen) ketimbang tanaman jarak yang hanya 60 persen.
Dari uji coba yang dilakukan, minyak biji nyamplung sudah dapat diimplementasikan sebagai bahan bakar murni biodiesel (B100), dan terbukti lebih irit ketimbang solar, dengan perbandingan; seliter solar mampu menempuh 10 km, sementara seliter BBN nyamplung mampu menjelajah 12 km.
Selain itu, proses pengolahan biodiesel nyampung ini tentu saja menghasilkan limbah. Tapi seperti ia jelaskan bahwa limbah tersebut bisa menjadi sesuatu yang bermanfaat, di antaranya sebagai pakan ternak, obat, dan pengganti minyak tanah.
Komoditas yang mampu menyerap ribuan tenaga kerja

Dengan potensi nyamplung yang cukup menjanjikan ini, kedepannya diharapkan peluang budidaya tanaman yang berbuah sepanjang tahun ini (50-250 kilogram per pohon), dapat menjadi komoditas untuk masyarakat dalam menambah pendapatan ekonomi mereka, selain tentunya berkontribusi dalam pemanfaatan BBN untuk menekan emisi.
Jika perkiraan kebutuhan biofuel pada 2025 sebanyak 720 ribu kiloliter (KL), maka komoditas nyamplung untuk memenuhi angka itu berpotensi menyerap sebanyak 120 ribu tenaga kerja.
Potensi ini, harap Budi, tentunya dapat menumbuhkan harapan besar bagi bangsa terkait penyediaan energi terbarukan, dan bisa digunakan sebagai pengganti bahan bakar fosil saat harga bahan bakar minyak (BBM) terus melambung.
Apabila ini bisa diterapkan secara optimal, maka tentu saudara-saudara kita di pedesaan atau wilayah terpencil akan merasakan pemerataan energi dan nilai ekonomi dari budidaya nyamplung ini.
Kita sama-sama paham, bahwa salah satu masalah energi nasional adalah soal distribusi, terlebih di negara kepulauan. Jadi, ketika sumber energi nyamplung ini bisa diproduksi di semua wilayah di Indonesia, maka isu distribusi tadi tentunya tak akan terulang.
Terkait deforestasi, karena tanaman nyamplung ini masuk dalam komoditas tanaman hutan campuran non kayu, sehingga manfaatnya bisa diambil tanpa perlu menebang pohonnya, dan tak perlu deforestasi untuk pembukaan lahan. Lain itu, tanaman dapat juga berfungsi sebagai penyerap CO2 dan memiliki umur yang cukup panjang, sekira 100 tahun.
”Saya ada itu tanaman nyamplung yang usianya sudah 60 tahun, dan hingga saat ini masih produktif,” pungkasnya.
Sayangnya, dari temuan kelompok peneliti Carbon Disclosure Project, ada fakta yang menyebutkan bahwa masalah sertifikasi dan subsidi yang dikeluarkan untuk produksi biofuel berbasis sawit, mendorong produsen untuk lebih memilih sawit dan melanjutkan praktik deforestasi, ketimbang mencari alternatif atau mengembangkan tanaman lain.