Budaya uma lengge, filosofi menyimpan bahan pangan Suku Mbojo agar tidak serakah

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp
Uma lengge (Tofi foto/Flickr)

Budaya menyimpan bahan pangan di dalam lumbung suku Mbojo di Desa Maria ditandai dengan bangunan bernama uma lengge. Tercatat ada hampir 100 bangunan lumbung di kompleks uma lengge tersebut.

Lumbung itu merupakan warisan turun-temurun yang kemudian akan diwariskan kepada generasi berikutnya. Bagi Suku Mbojo, tradisi uma lengge juga memiliki filosofi agar masyarakat tidak serakah.

Lalu bagaimana tradisi uma lengge ini bisa bertahan? Dan apa manfaat yang dirasakan oleh masyarakat? Berikut uraiannya:

1. Tradisi uma lengge

Uma Lengge (Harry Septian/Flickr)

Budaya menyimpan bahan pangan di dalam lumbung Suku Mbojo, Nusa Tenggara barat (NTB) ditandai dengan bangunan bernama uma lengge. Tempat ini adalah rumah panggung kecil berukuran sekitar 2 meter x 3 meter dengan empat tiang kayu penyangga.

Dinding bangunan ini terbuat dari papan kayu dan beratap alang-alang. Sebagian dinding kayu uma lengge di kompleks itu lapuk dimakan usia, sedangkan sisanya tampak atap seng menggantikan atap alang-alang.

Jota Karim (56) adalah salah satu anggota Suku Mbojo yang menunjukan beberapa biji-bijian dari dalam bangunan kayu tersebut. Secara bergantian dia menunjukan simpanan padi, sorgum, jewawut, dan jagung.

  Sirop Bogem, minuman berkhasiat dari wilayah pesisir berbahan dasar mangrove

“Ini warisan turun-temurun. Memiliki lumbung menjadi kebanggan bagi kami,” ucap Jota yang dimuat dalam Makna Nusa Tenggara Barat dalam Perjalanan Wallace terbitan Litbang Kompas.

Tercatat ada hampir 100 bangunan lumbung yang berada di kompleks uma lengge tersebut. Lumbung itu merupakan warisan turun-temurun yang kelak akan diwariskan kembali kepada generasi berikutnya.

Disebutkan oleh Jota masyarakat di Desa Maria juga rutin menggelar upacara Ampa Fare, yakni tradisi syukuran setelah panen usai. Bisanya dalam upacara tersebut hasil panen akan dinaikkan bersama-sama ke dalam uma lengge.

2. Penyelamat dari bencana kelaparan

Uma lengge (ibar santoso/flickr)

Tipe sawah yang berada di Desa Maria umumnya merupakan tadah hujan, hal ini membuat para petani hanya bisa melakukan panen sekali dalam setahun. Karena itu agar warga tidak kekurangan pangan, tradisi menyimpan hasil panen menjadi sebuah tradisi.

Tradisi ini dipercaya sudah dilakukan oleh para leluhur mereka sejak abad ke 8 Masehi. Bahkan dengan adanya tradisi uma lengge membuat masyarakat hingga kini selalu selamat dari bencana kelaparan.

“Setelah panen tiba, saya akan sisihkan setidaknya dua pertiga dari hasil panen untuk disimpan di uma lengge,” ucap Jota.

  Elektrifikasi desa di Papua dan momentum pemanfaatan bauran energi

Tidak hanya padi, masyarakat Suku Mbojo juga dikenal memiliki tradisi menanam aneka ragam pangan. Jenis lain yang dibudidayakan selain padi adalah sorgum, jewawut, jagung. Tetapi sorgum dan jewawut kini mulai jarang dibudidayakan.

“Orang-orang sekarang lebih banyak menanam padi. Sudah sangat jarang yang menanam sorgum atau jawawut. Selain padi yang masih cukup banyak ditanam adalah jagung,” ucap Aminah (55).

Anhar (29) salah satu warga Desa Tonggorisa, Kecamatan Palibelo menyatakan sejak kecil hanya mengenal pananan nasi. Bahkan pria yang kini menjadi sopir taksi tak pernah merasakan kenikmatan nasi jagung.

3. Tak serakah

Uma lengge (Tofi foto/Flickr)

Ketua Lembaga Adat Desa Maria Hasan Abubakar (81) menjelaskan bahwa filosofi yang terkandung dalam tradisi uma lengge tidak hanya menyimpan pangan di dalam lumbung. Namun juga agar masyarakat menjadi hemat.

Masyarakat dilarang untuk mengambil pangan dari uma lengge lebih dari dua kali dalam seminggu. Hal ini, dijelaskan oleh Hasan, masyarakat sedari awal telah dididik oleh leluhur agar tidak serakah.

“Lumbung tak boleh kosong. Kata orang tua, tak baik jika sampai kosong. Pesan itu menyiratkan bahwa kita tidak boleh serakah,” kata Hasan.

  Ritual Kawalu: Lebaran masyarakat Baduy untuk ucapkan rasa syukur

Hasan menjelaskan pada tahun 1960 an, pertanian di Wawo pernah dilanda gagal panen lantaran serangan hama. Tetapi cukup beragamnya jenis pangan yang disimpan oleh warga dapat menghindarkan masyarakat dari musibah kelaparan.

Saat tanaman padi gagal panen, warga masih memiliki cadangan berupa sorgum atau jewawut. Hasan menegaskan bahwa pergantian zaman telah membuktikan kebaikan dari fungsi lumbung bagi Suku Mbojo.

Masyarakat Suku Mbojo pun punya aturan khusus seperti bila hasil panen hanya cukup untuk enam bulan, mereka hanya boleh mengambilnya pada saat-saat akhir. Selagi warga bisa berusaha, mereka harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Selain itu hasil panen pun pantang untuk dijual atau ditukar dengan barang lain, seperti baju atau lauk pauk. Selagi bisa berusaha, warga tetap diminta bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup lainnya.

“Aturan adat uma lengge menggambarkan kearifan dan kerja keras Suku Mbojo,” ucap Siwi Yunita dan kawan-kawan.

Artikel Terkait

Terbaru

Humanis

Lingkungan

Berdaya

Jelajah

Naradata