Dengan keanekaragaman hayati primata tertinggi di dunia, Indonesia memiliki 5 famili termasuk 11 genus dan 38 spesies primata endemik. Salah satunya adalah yaki, kera hitam Sulawesi yang endemik selain menjadi jenis kera terbesar di Sulawesi.
Yaki yang dikenal sebagai primata cerdas yang hanya ditemukan di Sulawesi dan menjadi simbol konservasi primata di Indonesia. Sayangnya, populasi mereka berkurang di alam liar, dan status mereka sekarang dianggap sangat terancam punah atau selangkah lebih dekat menuju kepunahan.
Faktanya, keberadaan yaki alami memiliki fungsi ekologis, yang dapat membantu manusia mencapai tujuan pelestarian lingkungan. Individu yaki merupakan salah satu penyebar benih tumbuhan hutan karena sebagian besar makanannya adalah buah-buahan.
Selain itu, yaki juga menjadi daya tarik wisata, misalnya di cagar alam Batu Putih. Dengan adanya kegiatan pariwisata, hal ini dapat mempengaruhi terbukanya lapangan pekerjaan bagi masyarakat sekitar.
Ciri dan perilaku yaki
Yaki memiliki beberapa nama lain dari owa hitam Sulawesi, antara lain owa jambul, bolai, dihe, dan dalam bahasa Inggris dikenal dengan Celebes Black Ape, Celebes Black Macaque, atau Celebes Crested Macaque.
Secara umum, cukup mudah untuk mengenali keberadaan yaki karena seluruh tubuhnya hitam seperti tinta, tubuhnya lebar dengan jambul di atas kepala dengan bokong merah muda. Dengan panjang rata-rata 50 cm, berat yaki jantan sekitar 9 kg, sementara yaki betina sedikit lebih kecil.
Yaki sering disalahartikan sebagai kera hitam Gorontalo, terutama karena keduanya memiliki tubuh berwarna hitam. Namun penampilan fisik kera Gorontalo tubuhnya sedikit kemerahan dan jambulnya tidak terlalu tinggi. Faktanya, bantalan bokong tidak sebesar dan merah seperti yaki.
Primata ini merupakan hewan diurnal (aktif di siang hari), dan merupakan hewan darat semi herbivora, sehingga menghabiskan waktunya di pepohonan dan juga sering berjalan di tanah. Yaki menghabiskan banyak waktu untuk memberi makan, bergerak, dan menebar bibit.
Dalam satu hari, perjalanan seekor yaki dapat menempuh jarak hingga 5 km, dan cara perjalanannya dapat sangat bervariasi. Terkadang yaki berjalan dengan kedua tangan, menggantung, atau memanjat.
Di pagi hari, yaki sering terlihat bersosialisasi dan beristirahat sambil tidur di pohon pada siang hari. Setelah gelap, yaki akan kembali ke wilayahnya untuk tidur di pohon besar yang rimbun bersama kawanannya.
Yaki juga berpoligami dan setiap individu, pria dan wanita, dapat memiliki banyak pasangan seksual pada saat yang bersamaan. Monyet hitam ini juga hidup berkelompok hingga 60-80 individu dan seringkali dapat hidup hingga 34 tahun di penangkaran dan 18 tahun di alam liar.
Setiap hari, yaki memakan buah, tetapi ketika buah langka, ia juga dapat memakan kelapa, jagung, pucuk daun, batang berbunga, daun muda, biji, umbi-umbian, serta hewan kecil seperti serangga, katak, dan kadal.
Populasi yaki di alam liar
Monyet hitam dari Sulawesi ini hidup di dataran rendah dan dataran tinggi di hutan hujan pada ketinggian 200-1.200 meter di atas permukaan laut (mdpl). Yaki juga bisa hidup di hutan primer dataran rendah dan pegunungan, hutan sekunder, padang rumput, hingga lahan garapan yang dikelilingi hutan.
Mereka juga sering pergi ke perkebunan untuk mencari makan, sehingga sering dianggap sebagai hama tanaman. Namun pada dasarnya lebih menyukai habitat hutan primer karena mudah mencari makan dan cocok sebagai tempat peristirahatan.
Yaki dapat ditemukan terbatas di Sulawesi dan pulau-pulau terdekat, seperti Pulau Manado Tua dan Pulau Talise. Juga dapat ditemukan di Taman Wisata Alam Batuputih, Cagar Alam Gunung Tangkoko Batuangus, Cagar Alam Gunung Duasudara, Cagar Alam Gunung Ambang, Gunung Lokon, dan Tangale.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, yaki masuk dalam Daftar Merah IUCN dengan status terancam punah. Meskipun merupakan hewan yang dilindungi, kepunahannya kemungkinan akan terjadi dalam waktu dekat karena populasinya terus menurun selama 30 tahun terakhir menjadi sekitar 80 persen.
Ada banyak ancaman terhadap kehidupan yaki. Meskipun tidak memiliki predator, ancaman nyata bagi yaki adalah manusia dengan segala aktivitasnya, seperti berburu untuk dimakan atau sebagai hewan peliharaan. Yaki juga terancam kehilangan habitat karena industri pertanian, perladangan berpindah, pertambangan, dan kebakaran hutan.
Saat ini, upaya konservasi untuk melindungi populasi yaki sangat penting untuk kelangsungan hidup mereka. Seiring dengan konservasi yaki, edukasi terhadap masyarakat menjadi penting tentang bahaya makan daging yaki.
Saat ini, beberapa daerah sedang bekerja untuk melindungi yaki melalui konservasi alam, seperti Gunung Lokon, Gunung Ambang, Manembo Nembo, Tangkoko Batuangus, Dua Saudara, dan Tangkoko.