3 inisiatif komunitas Kolaborasi Bumi soal kepedulian pemuda pada lingkungan

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp
Aksi bersih mangrove dalam rangka G20 (Facebook Kolaborasi Bumi Indonesia)

Kolaborasi Bumi Indonesia mungkin masih asing di telinga para pegiat lingkungan, terlebih di kalangan anak muda yang belum memantapkan diri untuk terjun langsung memperhatikan isu-isu atau bahkan memberikan aksi nyata dalam bidang satu ini.

Namun, hal tersebut yang justru menjadi fokus utama dari komunitas Kolaborasi Bumi. Berbasis di Denpasar, Bali, komunitas ini mengedepankan aksi yang selalu diinisiasi dan digaungkan praktiknya oleh kalangan anak muda.

Meski masih terbilang sangat baru setelah didirikan pada akhir tahun 2021 lalu, namun komunitas ini sudah berhasil menjalankan sejumlah aksi, dan dalam keberadaannya sudah memiliki program kolaborasi konten pilar dengan konsep yang matang.

Inilah 3 alasan mengapa semangat Kolaborasi Buni Indonesia itu perlu diwujudkan.

1. Semangat anak muda perlu dibangkitkan

Dikembangkan oleh sebuah tim inti yang terdiri dari 10 orang, di mana dua di antaranya merupakan inisiator utama, Gita dan Salma pertama kali mendirikan Kolaborasi Bumi Indonesia pada tanggal 18 Desember 2021.

Mengutip Greeners, pendirian komunitas ini dilatarbelakangi oleh isu kerusakan lingkungan yang secara nyata juga memberikan imbas terhadap bidang kesehatan.

  Hari Gerakan Satu Juta Pohon, seperti apa gambarannya di Indonesia?

“Isu kesehatan dan lingkungan masih sangat butuh perhatian anak muda” pungkas perempuan bernama lengkap Ni Putu Gita Saraswati Palgunadi.

Membangkitkan kepedulian dan partisipasi anak muda terhadap isu lingkungan tentu bukan hal yang mudah. Saat ditanya mengenai hal tersebut, Gita mengungkapkan jika sebenarnya anak muda sudah memiliki semangat akan hal itu, hanya saja perlu dipancing atau dibangkitkan oleh pihak-pihak tertentu, salah satunya komunitas lingkungan seperti halnya Kolaborasi Bumi.

“Anak muda itu sebenarnya banyak sih, tapi butuh kaya sesuatu untuk menggerakkan mereka. Jadi kita tergerak untuk membangun dan mendirikan Kolaborasi Bumi Indonesia,” pungkasnya.

Terbukti, hingga saat ini terlihat jika Kolaborasi Bumi telah berhasil menjalankan berbagai aksi nyata yang telah melibatkan anak muda, di antaranya aksi bersih mangrove dan pembersihan pantai di kawasan Pantai Mertasari, Sanur.

2. Kolaborasi di atas apapun

Tidak hanya mengedepankan aksi yang digaungkan dan dijalankan langsung oleh generasi muda, Gita juga menjelaskan bahwa komunitas yang ia bangun sangat mengedepankan prinsip kolaborasi atau kemitraan.

  Sekolah Mangrove dan upaya pelestarian lingkungan pesisir Pantai Tawabi

Menurutnya, selama ini komunitas atau organisasi non-profit lingkungan masih banyak yang lebih fokus membangun branding atau membesarkan nama komunitasnya sendiri. Padahal, tujuan utama yang memang ingin dicapai dari sebuah komunitas lingkungan, yang lazimnya berupa menjaga kelestarian alam akan bisa tercapai dengan cepat jika lebih mengutamakan prinsip kolaborasi.

“Buat kami kolaborasi kita penting banget. Mungkin itu yang membedakan kita dengan organisasi lain. Kita benar-benar mengedepankan kolaborasi di atas apapun,” pungkasnya.

Hal tersebut terbukti dengan keberadaan program diskusi bersama komunitas lain, yang biasanya berjalan dengan tujuan untuk menggali visi dan misi antar komunitas dalam menjalankan upaya pelestarian lingkungan, yakni program Pandangan Bumi dan Kolaborasi Connect.

3. Gabungkan aspek kesehatan dan lingkungan

Meski baru berusia kurang dari tiga bulan, namun Kolaborasi Bumi Indonesia sudah memiliki fokus pilar dengan konsep yang cukup matang, baik dari dukungan dalam bentuk pendanaan hingga praktiknya, yakni penggabungan antara isu lingkungan sekaligus kesehatan yang berjalan lewat program Menstrucaraka.

Lebih detail, menstrucaraka adalah program edukasi mengenai lingkungan sekaligus kesehatan terhadap perempuan yang masih terbilang baru mengalami masa menstruasi, di mana lazimnya baru dialami oleh kalangan anak perempuan di bangku kelas 7 SMP.

  Upaya pelestarian lingkungan melalui pendekatan kultur dan budaya

Pada program tersebut, akan ada siswi yang berperan sebagai peer educator untuk mengedukasi hal-hal terkait kebersihan dan kesehatan menstruasi kepada teman sebayanya. Bukan tanpa alasan, konsep tersebut dipilih berdasarkan kenyataan bahwa para remaja dirasa lebih nyaman berbagi cerita dan pengalaman kepada teman sebaya yang mengalami hal sama.

Adapun edukasi yang diberikan nantinya akan mengutamakan pemahaman penggunanaan pembalut yang bersih untuk menjaga kebersihan organ intim. Sementara itu dari segi keberlanjutan, edukasi mengenai cara mengelola pembalut bekas pakai juga tidak boleh dilewatkan demi menjaga kebersihan lingkungan.

“Saat ini perempuan sudah jarang sekali dilibatkan dalam membuat keputusan terkait kebijakan air, sanitasi, dan fasilitas kebersihan. Padahal manajemen kebersihan menstruasi (MKM) sangat berdampak terhadap banyak hal, khususnya lingkungan,” jelas Gita.

Foto:

  • Facebook Kolaborasi Bumi Indonesia

Artikel Terkait

Berdaya